Senyum itu melekat di wajah tuanya yang putih kemerahan. Senyum yang selalu dibarengi dengan mata yang nyaris terpejam, hampir semua penghuni rehabilitasi menyandingkannya dengan kata 'ramah'. Pria berambut klimis rapi itu kini duduk di seberang meja sana menegakan bahu, membusung, seolah kekuasaan bertengger di dadanya yang tak lagi bidang.
"Bagaimana makan malamnya, Ahmad?" bibir yang menurut kawanku memuakkan itu tiba-tiba mengeluarkan kalimat pertamanya, setelah hampir setengah jam kami berada di ruangan penuh dengan benda-benda antik yang kebanyakan bernuansa etnik nusantara.
"Enak, Tuan."
"Ha-ha, jangan panggil aku Tuan, panggil saja Pak, seperti yang lain. Anggap saja aku ayahmu." Senyum itu melebar. Aku menatap matanya, sekejap saja, dan kembali mengalihkan pandangan pada daging steak yang sedang kupotong dengan pisau di tangan kiri secara perlahan.
Tuan Moesas yang seringkali memakai jubah hitam itu kini memakai terusan batik tanpa topi bulat yang selalu melekat di kepalanya. Entah apa ia sedang menghormati negara dan budaya tempat tinggal dirinya saat ini atau tidak, yang pasti itu terlihat tidak cocok di tubuhnya. Selain itu, aku sedikit kecewa karena sudah memaksa Abraham mencuri tuksedo untuk aku kenakan malam ini.
Rumah itu tak begitu jauh dari gedung pusat rehabilitasi dan begitu tertutup. Hanya dinding tinggi sebagai pembatas dan satu akses pintu gerbang yang dijaga ketat oleh dua orang petugas. Untuk mencapai tempat itu, aku hanya butuh berjalan sepuluh menit menelusuri hutan yang tampak terawat; tidak ada satu daun kering berserakan di sepanjang jalur. Seolah ketika daun itu berguguran, seseorang akan langsung memungutnya dan segera menghilang kembali.
Seorang lelaki berpakaian yang hampir mirip dengan pakaianku muncul di balik dinding membawa satu nampan yang di atasnya berdiri dua botol; satu botol lebih tinggi berisi wine, dan satu lagi botol berisi sitrus berwarna oranye. Lelaki itu mengisi gelas di hadapan pria tua itu dengan cairan merah, lalu menuangkan botol satunya ke gelasku. Aku tidak akan meminumnya, sesuai instruksi dari kawanku. Ia percaya, ada obat tidur yang ia tuangkan ke dalamnya.
"Maaf, Tuan, boleh aku minta air putih saja?" pintaku.
Lelaki itu melirik Tuan Moesas yang kemudian perlahan mengangguk tanda menyetujui. Sang pelayan segera mengambil satu cangkir dan mengisinya dengan air bening dalam botol di rak paling bawah dan membawanya ke hadapanku.
Kawanku, Abraham, sangat percaya jika tuan Moesas melakukan sesuatu kepada tamu-tamunya. Ia sudah menyelidiki sejak lama perilaku orang yang paling berkuasa di pusat rehabilitasi itu.
Hampir setiap Minggu ia mengundang para pasien ke rumahnya, dan setiap kali mereka pulang, selalu saja kembali dengan ketidakwajaran–lebih gila dari sebelumnya. Aku tidak mengerti apa maksudnya, tetapi aku bersedia memenuhi permintaannya. Katanya, setelah sesi makan malam, ia akan mengajakku menonton video di sebuah ruangan khusus, dan di sanalah Tuan Moesas akan memulai apa yang dicurigai Abraham.
Ruangan itu tidak bisa dibilang luas dan tidak bisa dibilang sempit. Bentuknya tidak benar-benar kotak, sebab satu sisi di arah kiri membentang miring sehingga dinding belakang terlihat lebih lebar dari pada dinding di depanku. Sebuah benda kotak dengan kaca gelap di bagian depannya merefleksikan bayangan diriku yang sedang duduk di sebuah sofa merah di hadapannya. Dingin terasa sejak aku tiba di dalam sini. Juga gelap, entah apakah dia sengaja mematikan lampu.
"Apa kamu pernah menonton video?" tanya Tuan Moesas.
Aku menggeleng pelan. Dia tersenyum. Kemudian mulai memasukan sebuah benda kotak dengan pita hitam yang jelas terlihat dari plastik transparan di antara kedua lubang itu ke mesin pemutar video. Ada tulisan yang aku tidak mengerti di bagian depan benda itu yang mengingatkanku dengan nama gedung panti.
"Aku yakin kau akan suka ini," ucapnya. Lalu kemudian ia beranjak duduk di sampingku. Aku menoleh kepadanya.
"Apa ini?"
"Video," jawabnya.
"Iya. Video apa yang akan kita lihat?"
Ia tersenyum kembali. Kali ini ada antusias di antara guratan wajah itu. "Aku tahu, kau suka dengan cerita tentang agama, Ahmad. Jadi, aku sengaja memesan kaset video ini di negara kawanku."
"Film apa?"
"Moesa."
"Musa? Seperti namamu, Tuan?"
"Sudah mulai," ucapnya. "Ayo sekarang kita nonton saja, jangan bicara ketika video diputar, Ahmad. Di negaraku, itu tidak sopan." Larangan itu adalah kata-kata terakhirnya setelah benda kotak di hadapanku menampilkan sebuah gambar bergerak yang diawali tulisan 'Moesa'.
Jujur saja, aku terpesona melihat gambar-gambar bergerak itu. Ini adalah pertama kali aku mendengar–menyaksikan– bagaimana orang-orang di dalam sana bercerita tentang kisah yang pernah aku dengar dari Ayah dahulu. Namun, ini lebih ... nyata.
Aku tidak tahu dengan apa yang aku rasakan. Namun, aku benar-benar tertarik dengan benda ini. Seakan terhipnotis, Pikiranku punya cara sendiri berimajinasi saat melihat orang-orang di dalam sana, menyaksikan bagaimana mereka berbicara, bercerita, adegan-adegan yang dulu hanya bisa saya bayangkan di dalam kepala, kini berada dalam satu benda kotak ini.
Aku terduduk selama, mungkin, hampir satu jam dengan mata berfokus pada layar kaca itu. Tampilan video diakhiri dengan tulisan-tulisan yang muncul bergerak dari bawah ke atas layar. Mungkin itu nama orang-orang yang ada di video tadi.
"Kau suka, kan?"
Aku menoleh padanya lalu tersenyum. Berharap itu cukup menjawabnya.
"Lain kali, aku akan mengajakmu menonton film lainnya."
"Bolehkah?'
"Tentu saja, Ahmad." Jawabnya.
"Minggu depan? Aku yakin Dr. Anna pasti mengijinkan."
"Pasti. Aku jamin itu," ucapnya. Senyum itu melebar dan entah mengapa itu sudah tak lagi memuakkan.
"Apa ada yang lain?" tanyaku.