Djakarta, 1972
Pria itu limbung di atas pelana, kali ini bukan pelana kuda nan gagah, atau pun induk gajah. Ia hanya duduk di atas becak tua yang disewanya dari tauke1. Ia menjadi patung kehausan, terkadang menjadi pemain sirkus kelelahan. Kayuh kakinya tak selesai barang berjam-jam. Sementara kelopak matanya tak sempat memejam. Meski begitu, ia tetap memilih menjadi pemain sirkus kelelahan.
Aroma keringat panggang, juga baju usang, saling menyatakan. Ya, ia benar-benar menjadi pemain sirkus kelelahan. Setidaknya, dalam pertunjukan membosankan itu, sepasang kakinya mengantarkan banyak ibu kembali ke rumah-rumah nyaman mereka. Seusai membeli telur, sayur mayur, ayam potong, atau perkakas tak tentu rupa, ada saja.
Bersikeras terus mengayuh adalah senjatanya yang tak bisa disita oleh siapa pun. Kecuali Tuhan. Satu semester telah ia habiskan dengan mengayuh. Bagaimana tidak, itu adalah mata pencaharian satu-satunya. Setidaknya untuk sejauh ini, di usianya yang belum dua puluh tahun. Ia diharuskan merasa cukup dengan kayuhnya. Bahkan kayuh-kayuh itu lebih dari romansa yang ia ciptakan dengan sengaja.
Terkadang, kayuh itu seperti kejutan listrik pada sel-sel dalam korteks serebral di kepalanya. Melemparkan lompatan ingatan-ingatan tak berkesudahan. Juga meramukan angan-angan nan panjang tak terelakkan. Ya, begitu, berulang-ulang kali.
Aku menunggumu di Pulo Kesapen, semoga Ibu mau menemuimu, lagi.