Pulo Kesapen, 1964
Pasukan burung-burung berlalu langlang dengan berai, tak berkawan. Jati belanda di pekarangan kian ranggas terurai. Jika burung-burung adalah ia, maka perasaannya yang terberai. Jika jati belanda juga ia, ranggas sudah akalnya. Tiga puluh hari belakangan, pilu selalu membersamainya. Lalu senyum tawanya, tergerus terus menerus. Lebih dari sepuluh kali ia menanyakan perihal ibu dan bapaknya yang telah pupus.
Langkah perempuan dari luar gubuk terdengar riuh rendah. Tak ada pilihan, ia terseok beranjak dari kursi kayu lapuk di gubuknya. Samar-samar kelambu putih ia jatuhkan sepenuhnya setelah menutup jendela. Sebenarnya ia terasa usang, bak udara dalam bilik tua miliknya, sesak, hampa tak berpendar. Terhuyung sudah badan mungilnya, tetapi ia tetap menuju suara perempuan itu. Ia segera membuka pintu gubuk berwarna biru muda, yang sebagian catnya telah terkelupas lemas.
"Sudah makan? Mbak bawa soto ayam," pintu masih terbuka separuh, suaranya sudah menyeruak ke dalam telinga, memang begitulah kebiasaan kebanyakan perempuan.
"Tadi di kios ada Pak Jatim, katanya dapat pembagian lahan untuk ditanami jagung pakan, dengar-dengar dari perkumpulan tani, entah lah," lanjut Rasi. Kakak perempuan kesayangannya. Enam tahun selisih usia keduanya, terlampau jauh dengan ketiga saudara lainnya yang sudah berumah masing-masing.
"Suwun1 Mbak," beranjak mengambilkan air godhog2 untuk kakaknya, lalu membuka bungkusan soto, harum kesedapan.
"Beruntung Pak Jatim Mbak, kita tidak dapat?" tanyanya polos. Rupa-rupanya ia tengah menyembunyikan sukar dalam hatinya yang mendengung. Menjelma menjadi air yang berangsur-angsur luruh memberikan dinginnya pada tanah yang gesang. Ia tak sadar, bahwa tanah yang gesang pun bisa memberikan hidup pada kaktus yang kokoh tak gentar.
"Kau ini! Kita ini siapa Galih? Apalagi sejak bapak meninggal, lahan punya bapak juga sudah terjual untuk pengobatan ibu, ketika ibu masih ada," terang Rasi.
"Untuk sebagian orang saja ya Mbak?" tanyanya lagi, penasaran.