Dengan nyawa yang setengahnya masih menggantung di langit—antara sadar dan tidak—Freya berjalan menyusuri kamarnya yang berukuran sedang. Ia mencari handuk baru di lemari setinggi dua meter yang terletak di pojok kiri. Setelah jam lima bagun untuk menunaikan shalat subuh, Freya mencoba untuk tidur lagi karena matanya terlalu lelah setelah dipaksa bekerja semalam suntuk.
“Hoahhh.” Ia menguap lebar-lebar. Berjalan menuju pintu kamar, tangannya memegang kenop pintu dengan mata setengah terpejam.
Krek. Pintu kamarnya terbuka lebar dan seketika telinganya mendengar sesuatu dibanting dari arah pantry, disusul suara-suara lain. Bising pagi-pagi. Freya mengucek matanya, terganggu.
“Oh, sori, gue nggak sengaja, Jen!” suara orang merasa bersalah, tetapi terdengar ketus. “Duh, kenapa sih tutupnya pakai jatuh segala,” ia mendumal sendiri.
“Gue sudah tahu lo bakal gini sih dari awal!” balas seseorang bernama Jena. Aksennya menuduh.
Freya menguap sekali lagi, bola matanya membulat. Tak percaya ada keributan sepagi ini.
“Gue kan nggak bisa nolak pas disuruh dinas ke Pekanbaru!” Lia tidak terima dituduh. Ia memandang lawan bicaranya dengan setengah melotot.
Buru-buru Freya menyusul dua temannya.
Jena mendengus, malas mendengar penjelasan yang sepertinya basi.
“Mana gue tahu kalau setelah training kemarin gue akan ditugaskan ke sana, jangan tuduh gue dong, Jen!” Lia tetap ngotot kalau dia tidak bersalah.
Freya sudah sampai pantry, ia menyaksikan Jena duduk di kitchen bar sementara Lia berdiri di sudut lain, mereka menjaga jarak. Jarak yang lumayan di dalam pantry yang mini ini.
“Fre!” panggil Jena, ia hendak mengadu. “Lia nggak komit sama perjanjian kita! Akhir bulan ini dia nggak stay di sini!” jelas Jena dengan nada kesal. Ia benar-benar marah.
“What?!” Freya jelas kaget. Lepas sudah kantuknya.
Nyawanya yang separuh terbang sudah kembali bergabung dengan raganya yang sangat berantakan pagi ini. Semalam suntuk dia tidak bisa tidur karena mengejar deadline tulisan untuk sebuah perusahaan IT, menulis beberapa artikel tentang kemajuan teknologi membuat otaknya mendidih dan pusing luar biasa.
Nekat sih dia, separuh jiwanya merutuk. Tak setuju.
Ini kali pertama dia menerima tawaran menulis artikel di perusahaan yang bergerak di bidang tersebut, beruntung dia punya sahabat yang super canggih dan seperti tahu segalanya, bernama Gama. Jelas sahabatnya itu rela membantunya dan sangat bisa diandalkan. Semalaman mereka online untuk membahas berbagai teknologi yang sedang tren di planet bumi ini.
“Gu-e… nggak salah dengar kan, Lia?” Freya menatap bola mata Lia. Lurus.