“Jadi kamu tolak tawarannya?” tanya seseorang di seberang sana
“Iya.” Freya mengangguk ringan, ia menerima telepon dengan memakai earphone.
“Kamu tahu nggak sih ini perusahaan bagus, Fre?”
“Iya,” jawab Freya lagi. Datar, tanpa ekspresi.
Ia baru saja menceritakan tentang pertemuannya dengan salah satu desain grafis dari perusahaan IT tempat ia bekerja sebagai freelance. Tidak disangka, Freya mendapat tawaran untuk bekerja di sana sebagai penulis tetap untuk blog perusahaan yang sudah lama tidak diaktifkan. Ia menolak karena punya alasan kuat, selain itu ia pun masih bekerja sebagai pegawai tetap di kantor dan restoran yang berada di Senopati. Ia tidak mau berhianat.
“Harusnya kamu terima aja, Fre. Ini kan bagus buat karir kamu.”
Freya mengangkat bahu, “aku nggak banyak ngerti soal dunia IT dan sejenisnya. Jurusan aku bukan itu, mereka salah orang.”
“Kan kamu bisa belajar,” lalu disusul helaan napas pendek.
“Iya, tapi mereka harus mempertimbangkan kemampuan aku dong. Masa nggak cukup expert di teknologi malah dikasih kerjaan berat sih?” Freya menekan tengkuknya, sudah biasa begini kalau bicara dengan seseorang di seberang sana. Lagi-lagi adu argumen.
“Ya pokoknya bisa belajar, Fre!” orang itu memaksa. Pendapatnya selalu benar, Freya tidak.
Freya menghela napas lelah. Capek berdebat dan tak ada ujung begini, selalu dia yang disalahkan. Tadinya ia hanya butuh teman bicara, tempat curhat, tetapi mengapa selalu mendapat penekanan seperti ini sih? ia kesal sendiri.
“Kamu kan bisa baca-baca buku, googling, cari banyak referensi, atau tanya teman kamu itu yang jago… ehm, Gama.” Jeda sejenak, “jangan langsung bilang nggak bisa dan nolak begini lain kali.”
Freya diam saja, masih mendengarkan.
“Jadi pribadi pembelajar kan bagus, kamu tuh kalau susah sedikit kok mundur sih!” seseorang itu menyalah-nyalahkan Freya. Padahal dia tidak tahu betapa pontang-pantingnya Freya beberapa hari ini, sampai tidak cukup waktu istirahatnya.
Rasa kesal Freya semakin menjadi-jadi, yang ia lakukan hanya diam sambil mendengarkan ocehan seseorang di balik ponsel tipisnya. Sesekali ia mengguman dan mengangguk tanpa suara. Harusnya dia tidak perlu cerita kalau ditawari sebagai penulis tetap atau content writer-nya perusahaan IT tersebut. Yah, Freya kadang lupa kalau kekasihnya sering bersikap paling mengerti segalanya dibanding dia. Mengatur dan menguasai. Freya tidak bisa berbuat banyak kalau ingin adu argumen ini cepat selesai, ia yang harus mengalah dengan diam saja begini. Ia biarkan seseorang di seberang sana mengoceh sampai berbusa.
Hubungan yang aneh. Mengapa dia bisa bertahan dengan kekasihnya yang begini? Ia bingung memisahkan mana cinta, mana terpaksa, dan mana yang pura-pura.
“Ya udah, Fre. Aku tutup teleponnya dulu ya, lagi banyak urusan.” Ucap kekasihnya yang bernama Vian Antoro.
Freya mengiyakan sekali.
“Fre?” suara Vian terdengar lain, lebih pelan dan tidak nge-gas lagi.
“Aku masih di sini, kenapa, Yan?”