Tempat biasa yang mereka jadikan untuk ajang makan siang bersama tak jauh dari apartemen sewaan Freya, hanya restoran rumahan yang menyediakan masakan favorit mereka. Freya dan Gama memesan cumi bakar, udang balado, kerupuk, sambal dan sayur asam Jakarta. Sementara minumnya tak jauh dari es teh manis. Makan siang sudah selesai, seorang pramusaji mengantarkan bon ke meja mereka.
Freya menahan tangan Gama yang akan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. “Eh, jangan. Biar gue aja, kan kemarin lo bantuin gue begadang, Ga.”
Gama tersenyum, sahabatnya masih sama seperti dulu, tidak suka berhutang budi. “Santai aja kali, Fre. Gue juga biasa repotin lo kok.” Ucapnya, tapi karena tak mau menyinggung Freya, ia memasukan dompetnya kembali.
Freya fokus kepada pramusaji dan membayar tagihan makan mereka. Demi mentraktir makan siang sahabatnya sih dia masih cukup dana, asal makannya di sini, jangan di restoran bintang lima.
Pramusaji sudah berlalu, tapi mereka berdua masih duduk-duduk di tempat ini.
Gama menatap wajah Freya yang polos. “Lo nggak ingat dulu gue numpang makan di rumah lo? Pas lagi nyasar di Surabaya?” tanyanya sambil nyengir.
Freya tertawa lalu mengangguk.
Kejadian itu sudah lewat dua tahun lalu dan sampai detik ini tidak ada yang bisa melupakan perjumpaan pertama mereka. Bukan disengaja. Waktu itu Gama kehilangan dompetnya saat berada di sebuah pasar tradisional dekat rumah Freya, lebih tepatnya ia kecopetan. Cowok itu kebingungan untuk membayar angkutan yang ia tumpangi, Freya yang kebetulan lewat mendadak dimintai bantuan setelah penjelasan singkat yang diberikan Gama. Freya tidak berpikir macam-macam, ia tulus membantu. Melihat Gama seperti lelah dan wajahnya pucat, ia malah menawarkan Gama untuk istirahat di tempatnya, orangtua Freya menganggap Gama layaknya tamu dan teman Freya pada umumnya, tidak ada rasa curiga sama sekali apalagi tampilan Gama sepertinya merupakan anak baik-baik. Siapa sangka, dari perkenalan itu Gama dan Freya akhirnya bisa sedekat ini, mereka bersahabat seperti sekarang. Terlalu dekat mungkin, sampai segala sesuatu tentang Gama—selama dua tahun ini—sudah ada dalam kepala Freya.
Gama masih memperhatikan temannya, ia menyandarkan punggung ke kursi. Ia dan sahabatnya bisa membicarakan banyak hal, mulai dari curhatan pribadi tentang pasangannya sekarang, sampai pekerjaan yang sangat menguras waktu dan energi, menyita masa muda. Tiba-tiba Gama teringat seseorang yang sudah tiga tahun menjalin asmara dengan sahabatnya.
“Fre, kabar Vian gimana?”
Freya nampak tak tertarik membahas kekasihnya yang kini menetap di Jogja. Setelah lulus kuliah di Jakarta, Vian memilih melanjutkan usaha mebel keluarganya, sebab dia anak bungsu dari tiga bersaudara, dua saudaranya perempuan dan tidak tertarik melanjutkan usaha keluarga besar yang sudah turun temurun itu.
“Baik,” jawab Freya malas. Mood-nya mendadak terjun ke bawah.
“Nggak semangat gitu jawabnya.” Gama selalu curiga dengan hubungan sahabatnya dengan sang kekasih yang nampak sering ribut dan adu argumen.