“Hah? Apa?” Freya mendekatkan telinganya pada Gama.
Mereka sedang duduk-duduk sambil menonton live music-nya Djournal Town, di café bar-nya yang terletak di lantai dua. Sepulang kerja, Gama mampir kemari untuk membicarakan masalah yang semalam keluarganya rundingkan. Misi mencari juru masak dadakan untuk sebulan sampai dua bulan kedepan.
Dan Freya sungguhan kaget. “Lo serius, Ga?” tanya gadis itu lagi. Ia menyibak rambut panjangnya ke belakang., menatap Gama tak percaya.
“Iya.” Gama mendekatkan bibirnya di telinga Freya. Suasana agak bising. “Lo masak di rumah gue, Fre. Sampai orangtua gue balik dari Saudi, mereka mau pergi haji.”
Freya mengerjap. “Iya… tapi kenapa gue, Ga?” tanya Freya, masih mode tak percaya.
“Ya terus siapa lagi?” Gama menyesap kopi lattenya. Dentuman musik lumayan mengendur, tak sebising barusan. “Lagian gue nggak suka lo begadang tiap malam. Badan lo sudah kurus, kurang nutrisi, kurang tidur, Fre!” ia sudah memikirkan ini sejak lama, perasaan pedulinya muncul.
Freya mengembuskan napas pelan. Menatap panggung di depan sana, band kurang terkenal itu sedang menyanyikan lagu Jazz sekarang. Band yang biasa manggung adalah band-band indie yang lumayan punya nama dikalangan anak muda Jakarta dan Bandung. Tapi lain dengan malam ini, bandnya baru bergabung dengan restoran ini sejak dua pekan lalu.
“Yang nulisin buat perusahaan IT itu sudah selesai kan?” tanya Gama.
“Sudah. Selesai kemarin kok.” Pandangan Freya masih lurus ke depan. Ia sengaja tidak menceritakan soal tawaran kerja itu, malas saja kalau Gama pun akan mendebatnya, sama seperti Vian. Kadang Gama bisa sebawel perempuan dalam beberapa hal.
“Nah, nggak ada alasan buat nolak permintaan gue kan?” Gama terus mendesak.
“Lo maksa, bukan meminta!” Freya meninju lengan Gama, membuat cowok itu tertawa. “Boleh dicoba sih. Tapi… ada syarat nih,” Freya mengedipkan mata sekali.
Gama menoleh tepat saat Freya tersenyum, sulit mengungkapkan bahwa Freya malam ini—di bawah cahaya yang agak pudar, tanpa pulasan make up seperti perempuan yang sering ditemui Gama—dia terlihat menawan. Cantik saja tidak cukup untuk menggambarkan sisi Freya yang satu ini.
Freya membalas tatapan itu dengan bola mata yang berbinar dan tenang. “Gue nggak tiap hari kan kerjanya? Gue kan harus masuk kantor juga, bisa dipecat gue kalau seminggu nggak masuk sama sekali.”
Gama masih terpaku dengan pemandangan di sampingnya, ia baru sadar ketika Freya meninju lengannya lagi. “Gama, helooo?”
“Ya.” Gama menarik napas dalam-dalam, fokusnya kembali. “Semua bisa diatur kok, Fre. Lo tenang aja lah, sama gue ini,” dia akhirnya menyeringai. Khas Gama banget.
Freya berdecak, menggelengkan kepala berkali-kali.
“Kenapa?” tanya Gama iseng. Mungkin semua perempuan bisa saja terpesona dengannya kalau diberi seringai khas seperti barusan, dia cukup sadar pesona sih orangnya. Terlalu PeDe malah. Tapi, pesona itu nampaknya mudah ditepis oleh sahabatnya sendiri. Ehm, lagi pula Freya sudah memiliki Vian, yang tak kalah manarik dari Gama Lawardi.
Freya tidak menjawab, ia memilih menyesap green tea di depannya. Kembali menikmati alunan lagu jazz yang tidak diketahui judulnya.
“Lagu jadul ya, Fre?” tanya Gama penasaran. Bola matanya menyorot ke panggung hiburan. “Lo tahu judulnya nggak?”
Freya mengangkat bahu. “Selama gue kerja di sini, nggak doyan nongkrong di sini kecuali lo yang ngajak.”
“Why?” Gama memberi tatapan menyelidik.
“Heh, lo tahu kan di sini ada secret bar-nya? Lewat pintu itu,” Freya menunjuk dengan dagunya, ke arah sudut kanan. Ada lemari besar yang merangkap sebagai pintu rahasia memasuki bar yang cukup berkelas. “Gue cuma takut kelamaan nongkrong di sini, sendiri, lalu tertarik untuk masuk sana dan bikin dosa,” ucap Freya jujur.
Gama terbahak, tawanya lepas malam ini. Setelah seharian suntuk berkutat dengan berkas di atas meja yang selalu menumpuk, bertemu dengan sahabat macam Freya adalah hiburan tersendiri. Dela juga bisa memberinya kehangatan dan cinta, bahkan sebuah ciuman dan tatapan mesra. Tetapi dengan Freya, malamnya selalu berbeda. Ia bahkan bisa tertawa tidak jelas seperti ini.
“Ada yang lucu, Pak?” Freya agak tersinggung.
“Eh, enggak sih!” dengan cepat Gama menjawab. “Heran aja, ternyata gue punya teman yang seumur hidup nggak pernah masuk bar.” Gama memberi seringainya lagi.
“Nggak masuk bar malah aman kan?” Freya menantang, ia memutar kursi dan menghadap Gama sekarang.