Life without love is like a tree without blossom or fruit." – Kahlil Gibran
Gia masih membeku di tempat sambil memandang ponselnya yang sudah tak berdering. Sesuatu yang baru saja didengarnya dari seberang sana membuatnya terbang ke angkasa. Dia, cowok itu mengatakan cinta kepadanya. Entah mengapa Gia merasa senang bercampur heran dan segalanya. Gado-gado. Perasaan yang berbeda dibandingkan jika Nandu atau orang lain yang bicara. Perasaan apa ini. Gia menepuk jidatnya yang mendadak terasa pening. Lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk.
Dirga nama cowok itu. Teman satu kelas yang sering Gia pergoki memandanginya dari jauh. Kadang mendadak muncul untuk bilang hai, apa kabar. Setelah itu menghilang. Lain harinya menyanyi lagunya Dewa 19 dengan lantang di depan kelas. Entah ditujukan kepada siapa lagu itu, tapi semua mata langsung memandang ke arah Gia sambil siul-siul aneh.
"Buat Fei, lagu itu pasti buat Fei. Siapa sih yang gak suka sama cewek secantik Fei. Dirga pasti lagi naksir Fei." Gia berpendapat sendiri. Tapi kemudian langsung duduk tegak di atas kasurnya. Kalau Dirga naksis cewek paling cantik di kampusnya itu, kenapa barusan Dirga menyatakan cintanya kepada Gia. Aaaaahhh.... bikin Ge Er saja nih.
Gia menutup kepalanya dengan bantal dan langsung memutuskan untuk tidur. Perkataan Dirga beberapa menit yang lalu berusaha keras dilupakannya. Mungkin hanya mimpi. yah, Gia sedang bermimpi tentang Dirga. Tapi kenapa Dirga? Duuh udah deh, gak usah dipikirin. Tidur... tidur. Ayo pejamkan mata. Gia menyemangati dirinya sendiri sambil mengusir bayangan Dirga yang melambaian tangan kepadanya.
**
"Gia, kita harus bicara." Nandu menghadang Gia dengan ekspresi wajah memohon. Pagi itu ada kuliah jam 7 lagi. Gia tak mau telat karena ada tugas yang harus dikumpulkan. Tapi Nandu sepertinya tak peduli.
"Bolos kuliah satu kali gak bakalan bikin kamu dikeluarkan dari kampus Gi. Ayo ikut." Nandu sudah menarik tangan Gia menjauh. Tak dipedulikannya beberapa tatapan mata yang mengarah ke mereka.
"Lepasin Nandu, sakit." Gia berusaha memberontak. Tapi Nandu tak peduli. Langkahnya semakin dipercepat hingga ke pojok kantin.
"Kamu gila ya. Ngapain kamu seret aku ke sini. Tau gak ini jam berapa. 7 lewat 5 menit. Kita telat masuk kelas pak Juned. Kalau gak ngumpulin tugas ..."
"Bisa gak lupain soal tugas kuliah sebentar. Kamu itu kerjaannya kuliah mulu tiap hari. Gak usah rajin-rajin Gi. Kamu itu udah pinter. Pasti coumloude deh nanti."
"Kok kamu ngomongnya gitu. Emangnya kamu kuliah buat apa kalau gak buat belajar. Buat senang-senang, nyari pacar, santai-santai... Nandu, aku lagi gak pengen berantem ya sama kamu."
"Siapa yang ngajakin berantem beib... justru aku pengen ngomong serius sama kamu."
"Wait wait wait... kamu ngomong apa barusan. Beib?" Gia menatap Nandu dengan alis terangkat. Nandu menutup mulutnya, tapi kemudian membukanya lagi.
"Mulai sekarang kamu harus terbiasa aku panggil dengan panggilan sayang, Gi. Karena sebentar lagi kita jadian kan." Gia menepis tangan Nandu yang berusaha memegangnya. Amarahnya kembali muncul setelah semalaman Gia berusaha melupakan.
"Kamu sakit." Gia balik badan dan hendak pergi. Tapi Nandu menghadangnya lagi.
"Iya, aku memang sakit. Daragia Lovers Syndrom seperti cowok lain yang mengejar kamu. Tapi kamu gak pernah nyadar dan pura-pura gak peduli." Gia menutup telinganya dengan kuat. Nandu melepaskan tangan Gia dan merecokinya dengan berbagai hal.
"Kamu tahu kalau banyak yang melirik kamu dibandigkan Fei. Ya, aku sebut nama Fei karena kamu selalu menyuruhku mendekati gadis itu. Kamu salah Gi. Hatiku cuman buat kamu. Selama ini aku nyoba memanas-manasi kamu soal Fei, hanya buat kamu cemburu. Tapi kamu sama sekali gak peduli. Kamu... "
"Cukup... cukup Nandu. Aku emang gak peduli dengan penyakit aneh yang kamu ciptakan itu. Dan aku gak mau denger apa-apa lagi soal kegilaan kamu. Udah berapa lama sih kamu kenal aku, kenapa kamu seperti anak baru yang ngajak aku kenalan? Dan satu lagi, aku gak peduli soal Fei. Kalau ada yang pantas jadi rebutan. Itu Fei, bukan aku."
Gia menumpahkan amarahnya dengan begitu liar. Gia tak berani membayangkan seperti apa wajahnya sekarang. Mungkin merah padam dengan asap mengepul di kepala. Gia gak peduli. Gia hanya ingin pergi dari Nandu.
"Gia... tunggu.... dengerin aku..."
Gia benar-benar balik badan dan pergi. Nandu berusaha mengejarnya, tapi Gia berlari menjauh. Entah mengapa, Gia merasa kebencian yang tak mendasar kepada Nandu. Sahabatnya, teman satu-satunya kini sudah memberikan luka kepadanya.
"Gia.... aku gak akan berhenti sampai kamu bilang iya ke aku. Gia...." Nandu berteriak di belakang Gia. Sungguh mengewakan. Gia tak pernah menyangka jika Nandu nekad bicara seperti itu. Kepadanya pula, yang selama ini mencurahkan segala cerita tentang hatinya. Tentang dirinya yang tak ingin jatuh cinta. Apa maksud Nandu mengatakan isi hatinya. Gia berlari sambil menangis. Gia benci air matanya yang mendadak mengalir. Tidak hari ini, tidak juga untuk Nandu yang sekarang ia benci.
BRAKK.... Gia menabrak seseorang. Atau lebih tepatnya ada yang menabraknya hingga mau jatuh. Tapi sejenak kemudian, ada tangan yang berusaha meraih tubuhnya hingga gagal menyentuh tanah. Gia sudah melotot saking kagetnya. Lebih kaget lagi setelah tahu siapa yang baru saja menangkap tubuhnya.