"I just wanna say something. I love you. That's all"
Siang itu matahari sedang panas-panasnya. Teriknya membuat bayang samar di antara pandangan Nandu. Memburamkan pandangannya pada dedaunan kering yang berhamburan di tanah, tempat langkah kakinya begitu memburu.
"Harus sekarang. Aku gak mau menunda lagi." Katanya pada diri sendiri. Tak dipedulikannya bulir peluh yang berjatuhan di pipinya. Bahkan sebagian membasahi kaos berkerah biru dongker yang dikenakannya. Semua itu tak penting. Kecuali apa yang akan dilakukannya sebentar lagi. Misinya yang sudah tersusun begitu rapi. Namun tak pernah tersampaikan.
Ah waktu, kenapa begitu terasa melambat sekarang. Padahal sebelumnya Nandu merasa waktu berlalu terlalu cepat. Apakah semua berkaitan dengan suara hatinya yang kian mendebar. Menjawab soal ujian tengah semester sepertinya lebih mudah daripada apa yang akan dilakukannya ini. Siapkah Nandu? Atau harus diundur lagi. Tapi sampai kapan?
"Nandu...." Suara lembut yang sudah dihafalkan terdengar semilir menyentuh telinganya. Merdunya. Nandu pun sengaja melambatkan gerakan kepalanya, hanya sekedar untuk menikmati sensasi dramatis yang selalu diimpikannya. Bertatap muka dengan Gia. Gadis yang selama ini dipujanya secara gerilya.
"Mau ketemu siapa? buru-buru amat." Suara Gia bahkan lebih merdu dari Anggun C. Sasmi. Sementara wajahnya mengalahkan kecantikan Ariana Grande yang diidolakannya itu. Ah, berlebihan. Karena pada kenyataannya. Gia nampak seperti gadis biasa. Rambut sebahu yang dikuncir ekor kuda, Alis natural, hidung setengah mancung, kulit kuning langsat dan riasan sederhana tanpa sentuhan make up. Tingginya hampir sama dengan Nandu dan suaranya begitu khas. Sampai Nandu bisa menebaknya meskipun Gia menyuruhnya tutup mata.
"Eh, gak mau ketemu siapa-siapa kok. Aku cuman mau ketemu kamu." Nandu terdengar spontan mengucapkannya. Entahlah, dengan begitu genderang di hatinya makin menderu kencang. Tapi Nandu tak peduli. Dia sudah bertekad sejak keluar dari kost tadi pagi.
"Tumben. Mau ngapain? Mau ngembaliin buku catatanku yang kemaren kamu pinjam?" Nandu lupa soal buku catatan milik Gia. Bahkan lupa soal segalanya. Kuliah jam 7 pagi saja tidak diikutinya. Sepanjang pagi sampai siang ini Nandu sibuk mondar-mandir. Memberanikan diri untuk berterus terang. Tapi setelah ketemu orangnya, nyalinya menciut dengan sendirinya. Kenapa begitu sulit sih. Beruntung semesta mendukungnya sekarang. Tak ada rival atau kawan yang mengalihkan perhatian Gia padanya. Ini kesempatan.
"Eh, malah bengong. Buku catatanku mana? Aku belum ngerjain tugas loh."
"Nanti aja Gi. Tugasnya kan masih seminggu lagi. Rajin amat. Ikut yuk." Nandu tak sadar sudah memegang tangan Gia. Tapi melepasnya dengan segera karena tak tahu harus membawa Gia kemana.
"Kamu lagi sakit ya, pucat banget." Gia nampak khawatir. Nandu terbengong-bengong sambil membuang muka ke segala arah. Ampun deh, grogi banget nih. Telapak tangannya saja sudah keringetan.
"Nandu, yakin kamu gak apa-apa? Tanganmu..."
Nandu sudah menghapus keringat di telapak tangannya menggunakan ujung kaos berkerahnya. Lalu memegang tangan Gia dengan erat. Gendang yang sedari tadi menderu di hatinya, kini bergemuruh kian kencang. Kata yang ingin diucapkannya pun mengabur bersama deru angin yang menyapu helai rambut Gia.
"Kamu kenapa Nandu, beneran gak sakit lagi. Maag kamu."