Love is a flower, you've got to let it grow - John Lennon
Gia sudah ada di rumahnya. Tapi pikirannya masih tertinggal di kampusnya. Berkali-kali Gia menggelengkan kepala. Berharap apa yang terjadi padanya hari ini hanya khayalannya belaka. Tapi semakin dipikir kok semakin terpampang nyata.
"Nandu sudah gak waras. Aku yakin tadi itu leluconnya seperti biasa. Emang cinta semudah membalik telapak tangan. Butuh tumbuh tau." Gia menggeleng sekali lagi. Lalu mengangguk. Pertanda masalah sudah dianggapnya selesai. It's done. Hingga ponselnya mendadak berdering nyaring.
"Hallo..." Gia menyapa sopan.
"Hai Gi, gimana tadi. kok malah langsung pergi. Kamu belum kasih jawaban." Suara Nandu terdengar menyakinkan di seberang sana. Gia malas membalas, tapi tak suka juga kalau membawa masalah ini sampai ke rumah. Bukankah barusan dia ingin mengakhiri masalah. Titik, bukan koma.
"Berhenti bercandanya Nandu, gak lucu."
"Berapa kali aku bilang kalau aku gak bercanda. Aku serius, dua rius malah. Aku butuh jawaban, Gi. Kamu mau nerima aku lebih dari sahabat?."
"Gak."
Tuuut.... tuuut.... tuuuttt...
Gia menutup telpon dengan wajah merah padam. Mungkin asap tebal juga sudah keluar dari kepalanya. Ditambah tanduk merah layaknya punya iblis, seperti yang digambarkan di komik-komik. Gimana gak marah kalau Nandu sudah bertindak kelewat batas. Tiga tahun dekat dengannya, mengaku sahabat. Bahkan Gia sudah menganggapnya saudara sendiri. Tapi dengan seenaknya Nandu mau mengubah status.
Cinta.
Apa sih itu cinta? Gia tak pernah mengerti dan tak pernah mau mengerti. Nandu sudah tahu soal itu. Bahkan selama ini, kepadanyalah Gia selalu curhat. Bahwa dia tak mudah jatuh cinta. Bahwa dia selalu sebal dengan sikap teman kampus yang berebut cari perhatiannya. Bahwa dia tak pernah mau membahas soal jatuh cinta. Bahwa satu-satunya yang Gia inginkan adalah lekas lulus kuliah dan cari kerja. Agar bisa mengurangi beban ibunya yang beralih profesi jadi tulang punggung keluarga. Ayah sudah sakit-sakitan. Bisanya istirahat di rumah.
Gia ingin sekali mengeluh. Tapi selalu ditarik kembali setiap kali melihat ibunya. Sosok perempuan Jawa sederhana yang tak pernah didengarnya mengeluh. Ketika ayahnya sakit, ibunyalah yang setia menemani dan mengobati. Ketika ayahnya tak bisa lagi memberi nafkah, ibunya langsung banting setir jualan kue. Tanpa diminta. Demi menyambung hidup. Sementara Gia. Tetap berjuang dalam belajar demi mengejar gelar sarjana. Satu-satunya permintaan sang ayah sebelum ayahnya....
Gia menghapus air mata yang tiba-tiba saja mengucur deras dari kedua bola matanya. Tanpa diminta dan tanpa permisi. Gia benci air matanya yang membanjir di pipinya. Gia benci kenyataan bahwa relationship yang dia bangun bersama Nandu akan rusak seperti ini.
"Aku sudah percaya sama kamu, Nandu. Tapi kenapa kamu ...." Gia mengepalkan sebelah tangannya penuh amarah. Tak sanggup mengucap kata yang menggantung di udara. Hingga dering ponselnya terdengar lagi.
"Gia, kenapa ditutup telponnya. Kamu marah ya... " Suara Nandu di seberang sana membuat Gia makin merah padam.
Tuuut.... tuut...
Gia menutup telponnya lagi. Dan setelah itu tak satupun telpon dan pesan Nandu ditanggapinya. Ibunya sedang keluar rumah sore itu. Tetangga bilang, ibunya sedang ke warung mengambil kue yang dititipkannya ke sana. Gia mengunci diri di kamar. Menangis entah karena apa. Samar terdengar suara ibunya memanggil dari luar kamar. Tapi Gia tak sanggup menjawab dengan sesenggukan yang tiada henti.
**
Dirgantara Hendru. Laki-laki tinggi dan kekar itu duduk biasa di teras kost-nya. Sendirian sambil menatap langit malam yang bertaburan bintang. Benar-benar menyindir hatinya yang kacau balau. Untung malam ini kost sedang sepi. Banyak temannya yang pulang kampung. Liburan tengah semester. Dirga memutuskan tak pulang. Karena masih ada misinya yang belum terlaksana. Tepatnya tak pernah terlaksana.
"Masih mikirin Gia, bang?" Dirga menoleh kaget. Ada Sinyo yang mendadak nongol entah darimana. Ketenangan Dirga pun langsung terusik.
"Kebiasaan lu, kayak jaelangkung aja datang gak diundang, pulang gak dianter. Ngapain ke sini?" Dirga merengut kesal. Sementara yang disindir malah nyengir kuda. Cuek tak peduli.
"Tadi lewat, terus liat abang bengong sendirian di mari. Sama bengongnya kayak tadi siang di kampus. Ya ane samperin. Takut abang kesambet jaelangkung."