Do Rio Com Amor

Noura Publishing
Chapter #3

1 Um dia: Bem-vindo ao Brasil 1

Hanya sedikit yang aku tahu tentang Brazil, apalagi Rio de Janeiro. City of God. The Girl From Ipanema. Copacabana beach. Kaka si pemain bola. Terra Nostra, telenovela favorit Mama. Namun, tidak satu pun hal terkait fashion berasal dari kota ini. Enggak seperti New York atau Milan atau London atau Paris. Memang sih Brazil termasuk negara terbanyak memproduksi model internasional, seperti Gisele Bundchen atau Alessandra Ambrosio, tetapi aku kan enggak tertarik dengan dunia modeling?

I am into fashion design. Just that. Bukannya ingin jadi model.

Seharusnya sekarang aku berada di New York atau Milan atau London atau Paris dengan perasaan excited menghadiri fashion week pertamaku. Aku bahkan sampai bosan bermimpi berada di tengah fashion people di fashion city seperti itu. Ternyata aku cuma bisa bermimpi. Alih-alih mengunjungi salah satu kota itu, aku malah terjebak di pesawat yang membawaku ke Brazil, tepatnya ke Rio de Janeiro, untuk menghabiskan waktu selama sembilan hari di sana. Menyaksikan Rio Carnival.

Karnaval? I have no idea about that. Silakan tanya tentang tren terbaru Spring/Summer 2014, aku bisa menjelaskannya sedetail mungkin, lengkap dengan karya terbaru desainer favoritku. Karl Lagerfeld. Christopher Bailey. Phoebe Philo. Victoria Beckham. Marc Jacobs. Nicolas Ghesquière. Whatever you name it. Aku juga bisa menjelaskan tren apa saja yang akan booming musim ini. Warna putih akan sangat in. Motif strip masih dipakai banyak desainer, begitu juga motif floral. Teknik dip-dyed akan kembali in. Efek layer dan sheer juga mendominasi runway musim ini. See? Aku tahu banyak, kan?

Sedangkan karnaval? Yang aku tahu hanyalah se­kumpulan orang melakukan pawai dengan pakaian aneh yang enggak masuk akal. Bahkan Lady Gaga pun terlihat normal ketimbang peserta karnaval.

Namun, dalam beberapa hari, aku justru harus menikmati karnaval. Di Rio. Aku enggak habis pikir kenapa semua impianku jadi berantakan seperti ini.

“Nih. Mending kamu baca ini daripada cemberut kayak gitu.”

Sebuah suara lembut merasuki kupingku. Kemudian, sebuah buku kecil mendarat di pangkuanku. Aku menunduk untuk meneliti buku apa itu. Kamus Bahasa Portugis.

Aku mendengus. Kamus itu jelas-jelas membuatku semakin kesal. I want London not Rio. Dengan tatapan sebal, aku menatap perempuan yang duduk di sebelahku. Biang kerok dari semua kesialanku. Dia terlihat tidak terganggu sedikit pun. Sosoknya tampak anggun dengan dagu terangkat tinggi dan mata ditutupi oversized sunglasses. Lipstik merahnya semakin menambah kesan angkuh itu. Masalahnya, sekalipun aku pengin menertawainya karena memakai oversized sunglasses di dalam pesawat dan lipstik merah itu hanya mempertegas kulit pucatnya, dia malah terlihat keren. Ingin rasanya tidak memercayai penglihatanku, tetapi aku tidak bisa mengingkari kalau dia benar-benar keren.

Dan, ketika aku menunduk menatap penampilanku—short pants dengan ujung tidak dijahit yang terkesan rebel, loose tee putih, dan knee length boots—aku seperti rakyat jelata berhadapan dengan seorang putri—padahal sense of fashion-ku enggak jelek-jelek amat. Sekarang, bertambah satu lagi hal yang membuatku kesal.

“Setidaknya kamu bisa mengucapkan kata-kata dasar dalam bahasa Portugis, seperti selamat pagi atau minta tolong.” Dia kembali berkata-kata, walau tidak menoleh ke arahku.

Aku membuka buku kecil itu dengan perasaan gondok. “Coba kita ke London. Aku kan enggak perlu belajar bahasa asing lagi,” gerutuku.

Kudengar dia mendecakkan lidah. Hei, dia yang jadi biang kerok ya, dia enggak punya hak untuk ikut-ikutan kesal.

“Kita sudah membahasnya, Lola. Harusnya kamu senang bisa mendapat kesempatan ini.”

Senang? Bagaimana aku bisa senang jika keinginan utamaku, merasakan pengalaman once in a lifetime mengunjungi fashion week, siapa tahu bisa bertemu the one and only Cara Delevingne atau at least tertangkap kamera Scott Schuman, hancur berantakan gara-gara dia memilih Rio de Janeiro?

“Enggak semua orang bisa mendapat kesempatan ini. Datang ke Rio gratis, bersamaku.”

Begitu aku tahu menjadi pemenang Fabulous Trip ini, aku merasa sangat senang. Aku sampai berlari keliling rumah dan menciumi pipi Mama berkali-kali—it’s weird by the way. Apalagi aku bisa jalan-jalan bareng Arletta Wiryawan, model Indonesia yang lima tahun terakhir berkarier di Paris dan London. She’s my idol. Aku suka style Letta. Begitu membaca profilnya, aku semakin kagum padanya. Dia, yang dulu sempat jadi korban bullying karena alis tebalnya dianggap aneh dan tubuhnya yang kelewat tinggi, sekarang malah jadi model internasional. Alis tebalnya menarik perhatian para pencari bakat. Tubuh tingginya yang dulu membuatnya kikuk justru mengantarkannya ke runway di Paris. Juga kover beberapa majalah skala internasional. Dan face untuk beberapa brand ternama.

Namun, Letta malah mengecewakanku dengan memilih Rio sebagai lokasi trip ini. Padahal, aku sudah berbusa-busa mengatakan ingin ke London.

“London is ordinary. You need something extraordinary, itu pun kalau kamu benar-benar berniat jadi fashion designer.” Aku melihat Letta membetulkan letak kacamatanya.

“Apanya yang ordinary? Burberry, Ted Baker, atau Victoria Beckham memangnya menurutmu biasa-biasa saja?”

Letta mengangguk dan tersenyum tipis. “Mereka bisa ditemukan di mana saja. You need something new.”

Kayak dia tahu aja apa yang aku mau, rutukku dalam hati.

“Ngomong-ngomong kamu melupakan Francisco Costa.”

“Desainernya Calvin Klein?”

Letta mengangguk. “Dia dari Brazil.”

“Tapi, kita enggak melihat show Calvin Klein kan di sana?” balasku sewot.

Letta tertawa, membuat kabin yang sejak tadi hening mulai terusik. Sekarang sudah malam—setidaknya itulah yang kulihat dari balik jendela. Aku tidak tahu sekarang sedang berada di mana atau sudah berapa lama aku duduk di pesawat ini—dan sebagian besar penumpang sudah tertidur. Aku khawatir kami jadi pusat perhatian karena tawa Letta mengganggu istirahat mereka.

“Aku berani janji kamu enggak akan melupakan trip ini.”

Aku menatap Letta dengan mata memicing. Aku belum terlalu mengenalnya. Sebelum terjebak dalam pesawat ini, aku hanya bertemu dengannya sekali, di kantor Fab.com. Selain itu? Aku hanya mengetahui tentang dia dari media massa. Kurasa, itu belum cukup membuatku bisa memercayainya.

Lagi pula, bagaimana mungkin aku bisa percaya pada orang yang sudah menghancurkan mimpiku?

Letta mengangkat kacamatanya sehingga mata kami bertatapan. Dia tersenyum tipis dan mengerlingkan matanya kepadaku. “Dulu, ketika seumuran denganmu, aku juga sepertimu. Begitu mengagung-agungkan apa yang diagungkan media massa. Sekarang aku menyesal sudah bersikap seperti itu, karena aku kurang mencari tahu hal lain yang lebih menarik dibanding yang aku tahu.”

Aku mengernyitkan kening. Jadi, aku dijadikan sasaran balas dendam atas penyesalannya dulu? Ini enggak adil. Dia enggak mengenalku. Dia bahkan enggak tahu apa-apa tentangku. Bagaimana bisa dia menarik kesimpulan seperti itu?

Baru saja aku hendak membalas perkataannya, Letta sudah mengambil selimut dan menyelimuti tubuhnya. “Kalau enggak mau tidur, kamu bisa membaca buku itu. Good night.”

Kembali aku menatap buku itu. Rasanya kekesalanku semakin menjadi-jadi.

Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 20 jam, satu-satunya hal yang ingin kulakukan sekarang hanyalah tidur. Itu sebabnya, ketika petugas hotel membukakan pintu kamar kami, aku langsung berlari menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhku di sana. Bahkan aku tidak punya tenaga untuk membuka tas.

Kurasakan sebuah tendangan di kakiku. Pasti Letta. Siapa lagi? Toh, di kamar ini hanya ada aku dan dia. Kuabaikan tendangan itu dan meraih guling, lalu mendekapnya. Aku menguap. Siapa pun yang mengatur flight malam untukku, sepertinya tidak memedulikan perbedaan jam antara Jakarta dan Brazil. Mendarat subuh buta jelas bukan pengalaman yang menyenangkan, apalagi sebelumnya aku tidak bisa tidur dengan nyenyak.

“Hei, jorok. Kamu enggak mandi dulu?”

Aku hanya mendengung menjawab pertanyaan Letta. Jangankan mandi, berganti posisi saja aku enggak sanggup.

“Ya sudahlah.”

Dari nada suaranya, aku tahu Letta terdengar sangat kesal. Strike one. Setidaknya aku bisa membalas kekesalanku dengan membuatnya kesal—walaupun ini belum sebanding dengan kekesalanku.

Dengan ingatan mengawang-awang antara sadar dan tidak sadar, aku mendengar bunyi air mengalir dari kamar mandi. Aku terkekeh sekaligus takjub melihat Letta, walaupun sudah menempuh perjalanan sama panjangnya denganku, tetap bisa mempertahankan kecantikannya.

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Setahuku, begitu membuka mata dan melihat ke luar jendela, aku mendapati sinar matahari menyorot cerah di atas langit. Ketika memandang ke sekeliling kamar, aku tidak menemukan sosok Letta.

Perlahan, aku bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Baru sekarang kurasakan kulitku sangat lengket. Terakhir kali menyentuh sabun mandi, itu di sore hari terakhir keberadaanku di Jakarta. Hampir sehari semalam aku tidak mandi. Rasanya enggak enak banget.

Kamar mandi itu kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Letta di sana. Bahkan kamar mandi itu terlihat rapi, seolah-olah belum ada yang memakainya. Seingatku, tadi Letta mandi di sini. Ah, sudahlah. Melihat bathtub membuatku semakin merasa kotor. Benar saja, ketika aliran air mengaliri tubuhku, mendadak aku merasa sangat rileks. Aku berlama-lama di kamar mandi, bermain dengan busa sabun sambil bersenandung riang. Meski kekesalan itu masih ada, setidaknya aku sudah tidak seemosi semalam.

Selesai mandi, aku kembali ke kamar untuk mem­bongkar koper. Kulihat koper Letta sudah terletak rapi di dekat lemari, sementara koperku masih berada di dekat pintu. Dasar angkuh. Kenapa sih dia enggak menolongku menyimpan koper ini di dekat kopernya? Dengan keletihan yang masih terasa, aku menarik koper itu mendekati lemari. Sebaiknya, aku beres-beres sekarang saja.

Mataku langsung terbelalak begitu melihat lemari sudah dipenuhi barang-barang milik Letta. Dia memang membawa dua koper besar, tetapi aku enggak menyangka jika semua perlengkapannya memenuhi lemari ini. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, berusaha mencari celah untuk menyimpan bajuku yang tidak sebanyak milik Letta. Hanya ada sedikit celah di dasar lemari—yang dipenuhi sepatu Letta—dan aku memaksa semua bajuku tersimpan di sana.

Setelah semua bajuku tersimpan rapi, aku berdiri di depan lemari dengan kedua pintu terbuka. Mataku membola menatap baju Letta, juga sepatu-sepatunya. Sebagian besar baju itu berwarna monokrom—Letta memang memiliki style klasik yang sering terlihat dengan warna monokrom ini—dengan model yang terlalu dewasa untukku. Namun, aku tidak bisa memungkiri jika baju itu sangat bagus. Berani taruhan, pasti baju itu branded semua. Sebagai model internasional, selain mendapat komplimen dari desainer pemakai jasanya sebagai model, tentu saja honornya mampu membuatnya melenggang bebas keluar masuk butik. Sejenak aku merasa iri. Ketika seusiaku, Letta sudah terkenal dan menghasilkan banyak uang. Sedangkan aku masih saja berkutik di kuliahku di jurusan Desain Grafis, padahal aku pengin jadi fashion designer, dan masih menerima uang jajan dari Mama. Hal ini membuatku semakin yakin untuk mulai magang semester depan.

Rasa penasaran membuatku refleks mengambil sebuah peplum dress berwarna merah maroon. Aku membawanya ke hadapan tubuhku dan mematutnya di depan cermin. Masih belum puas, dan mumpung Letta lagi enggak ada, aku mencoba baju itu. Aku ingin tahu, apakah aku cocok dengan pakaian feminin seperti ini? Agar terlihat total, aku mengambil sepasang pump shoes dan memakainya—agak kebesaran di kakiku. Aku juga mengambil scarf yang digantung di pintu lemari. Setahuku, Letta memang kolektor scarf. Dia enggak bisa keluar rumah tanpa scarf—aku membacanya di majalah. Scarf bermotif unicorn itu aku lilitkan di kepala membentuk bandana, menutupi rambut pixie-ku. Aku juga mengambil kacamata hitam Letta yang diletakkan di atas nakas.

Not bad, komentarku ketika mematut bayanganku di depan kaca. Dress itu jatuh di bawah lutut karena Letta memang jauh lebih tinggi dibanding aku. Ukurannya pas di tubuhku karena kami sama-sama kurus.

Meski gaya ini not-so-me, aku tetap mengabadikannya dalam foto. Kapan lagi, coba, aku terlihat sangat feminin seperti ini? Aku kan enggak punya dress di rumah—kecuali satu little black dress yang kubeli karena kata majalah, setiap cewek harus punya satu LBD di lemarinya.

Di saat aku sibuk memotret, pintu kamar terbuka. Sosok Letta berdiri di sana dengan mata terbelalak. Aku, nyaris jantungan karena tertangkap basah berbuat lancang seperti ini, hanya bisa memberikan cengiran lebar dan refleks membuka kacamata hitam yang kupakai.

“Sorry. Aku enggak tahu kalau kamu segera pulang.” Aku beralasan sembari meletakkan kacamata itu di tempatnya semula.

Letta melenggang masuk sambil menggelengkan kepala dengan wajah prihatin. “Baru setengah hari, kamu sudah membongkar lemariku.”

Mendengar kata lemariku meluncur dari bibirnya, aku mendengus kesal. “Ngomong-ngomong, itu lemari buat kita. Lagi pula, aku bosan ditinggal sendiri. Kamu dari mana? Kenapa enggak mengajakku?”

“Kamu tidur kayak orang mati,” balasnya dingin sambil duduk di pinggir tempat tidur. Dia menyilangkan kaki panjangnya yang terbungkus wide-length pants berwarna putih. Sangat anggun. “Kamu belum makan siang, kan? Ada bistro enak di dekat sini. Kita bisa makan siang sekaligus makan malam di sana.”

Untuk pertama kalinya setelah terbangun, aku melirik jam. Hampir pukul 03.00 sore. Baru sekarang kusadari kalau aku sangat lapar. Seingatku, aku hanya makan bagel di bandara tadi pagi sambil menunggu petugas imigrasi selesai mengurus berkasku.

Rasa lapar ternyata mampu mengalahkan kekesalan untuk menginterogasi Letta ke mana saja dia pergi sepanjang hari ini. Buru-buru aku mengambil pakaian yang tadi kupakai dan beranjak menuju kamar mandi. Aku cengengesan saat menatap bayanganku di cermin sesaat setelah aku berganti baju. Ternyata, aku memang lebih cocok dengan short pants dan tee. Aku lebih suka tampil edgy ketimbang cute, apalagi sweet, seperti Letta.

Letta masih ada di posisinya ketika aku keluar dari kamar mandi. Dia tidak mengacuhkan, malah sibuk mengetik di ponsel canggihnya. Aku mengembalikan peplum dress itu ke dalam lemari dan berdiri berkacak pinggang di depan Letta.

“Kenapa?”

“Kenapa?” Aku mendengus. “Bukannya tadi kamu yang mengajakku makan siang? Aku udah siap.”

Letta tidak berkata apa-apa lagi, tetapi perhatiannya masih tertuju ke layar ponsel. Diam-diam aku penasaran. Siapa sih yang membuatnya terlihat serius seperti ini? Setahuku, Letta begitu semangat begitu kami berangkat kemarin, seolah-olah ada sesuatu di Rio yang membuatnya begitu antusias. Namun, sekarang dia malah stuck di depan ponsel.

Aku mengentakkan kakiku ke lantai. Sepatu docmart yang kupakai menimbulkan bunyi teredam karena lantai ditutupi karpet tebal. Sesekali aku mendecakkan lidah, berharap Letta terganggu, dan segera berhenti memelototi ponselnya itu.

“Enggak sabaran banget, sih.”

Akhirnya, kegaduhan yang kubuat berhasil meng­ganggunya. Letta bangkit berdiri dan aku segera meng­ikutinya. Ketika melewati cermin, aku sadar kalau masih memakai scarf.

“Enggak usah dibuka. Kamu pakai aja scarf itu.”

Ucapan Letta membuat tanganku batal membuka scarf itu. Aku menatapnya heran. Dia mengizinkanku memakai scarf ini? Padahal tadi dia keberatan aku mencoba barang miliknya.

“Kalau memang suka, kamu bisa mengambilnya. Aku punya banyak scarf unicorn.”

Mataku terbelalak. Letta memberikan scarf ini untukku? Dari logonya, aku tahu ini Hermes, dan aku cukup tahu harga sehelai scarf Hermes—aku tidak berani membayangkannya. Dan, walau aku jarang memakai scarf, aku sudah jatuh cinta pada motifnya.

“Kamu jadi mau makan enggak, sih?” teriak Letta dari pintu.

Aku menyengir lebar dan berlari menuju pintu. “Thanks ya, scarf-nya.”

Letta tidak menjawab. Dia sudah berjalan mendahuluiku dengan wajah tertunduk. Entah apa yang ada di ponselnya, sepertinya Letta tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari benda itu.

Pantas dia sangat kurus kalau makannya hanya salad. Aku mencibir sambil memakan beef steak milikku. Awalnya kupikir Letta tidak terlalu picky soal makanan, tetapi ya namanya juga model. Urusan makanan selalu menjadi isu nomor satu. Padahal beef steak ini sangat enak. Ketika kutawarkan, Letta malah menatapku seolah-olah aku ini alien yang nyasar ke bumi. Dasar model. Kasihan juga sih dia enggak bisa menikmati beef steak superlezat ini karena profesinya.

Omong-omong soal makanan, aku berjanji pada diriku sendiri. Jika suatu saat nanti sudah jadi desainer, aku enggak akan membuat pakaian zero size. Aku cukup prihatin begitu membaca berita tentang model dipaksa selalu kurus agar bisa memakai baju rancangan desainer yang mereka iklankan.

Aku tertawa sendiri memikirkan bayanganku barusan. Bagaimana aku bisa jadi desainer sedangkan sekolahku saja enggak di jurusan itu? Sebenarnya aku pengin banget bisa sekolah di fashion institute—aku sih terlalu bermimpi untuk sekolah di Parsons atau Marangoni—tetapi keuanganku enggak mencukupi. Sebagai single parent, Mama mengaku keberatan dengan biaya kuliah yang mahal. Sedang aku enggak mau Papa membiayai kuliahku—bukan berarti beliau pernah menawarkan, sih. Aku sangsi dia tahu aku kuliah di mana karena enggak pernah memedulikanku. Jadi, untuk sementara, aku terpaksa menunda impianku.

Lihat selengkapnya