Pukul lima pagi Meera terbangun dari tidurnya. Ia masih setengah sadar, kedua matanya antara terpejam dan tidak. Sambil mencecap-cecap bagian dalam mulutnya, ia turun dari tempat tidur. Kabin mereka gelap, semua orang masih tidur. Ia mengintip dari balik jendela. Bulan bahkan masih bersinar terang. Tepi danau dan permukaan air terlihat sunyi.
Gadis itu mengambil ponselnya dari atas nakas. Ada satu pesan dari Monroe. Meera tidak langsung membaca pesan itu. Entah kenapa sejak tadi malam, ia sedang tidak ingin berbicara dengan pacarnya itu. Kemarin sore, Meera baru menyadari kalau Monroe masih sering berkomunikasi dengan salah satu mantannya yang berada dua tahun di bawah mereka. Monroe berkata mereka berdua hanya membicarakan soal badan siswa, mantan pacarnya itu ingin mencalonkan diri menjadi anggota inti. Katanya sih, hanya itu. Tetapi Meera merasa tidak nyaman saja.
Setelah selesai memakai kamar mandi, Meera menyadari kalau Flo juga sudah terbangun dari tidurnya. Gadis itu sedang bersujud atau tengkurap dengan posisi yang aneh di kasurnya.
Meera menepuk punggung Flo. “Kau sedang apa?”
Flo langsung bangkit dan mengangkat wajahnya terkejut. “Ya Tuhan. Kukira siapa!” serunya dengan volume berbisik.
“Memangnya kau pikir apa, hah,” ledek Meera nyengir. “Lagi posisi berbaringmu aneh sekali.”
“Aku sedang melakukan peregangan.”
Meera memanjat tangga tempat tidur menuju kasurnya di bagian atas.
Flo meraih ponselnya dari lantai kayu di sebelah tempat tidur. Ia mengecek jam. Pukul enam kurang lima menit. Flo turun dari tempat tidur dan mengintip keluar jendela. Langit masih berwarna biru gelap, tetapi sudah agak terang.
“Psst, psst, Meera,” panggil Flo mendesis ke seberang ruangan.
Meera yang sedang memainkan ponselnya menoleh.
“Ayo keluar melihat matahari terbit.”
“Malas. Aku sedang ingin rebahan.”
“Ah, kau tidak asyik.” Flo berjinjit menuju tempat tidurnya, lalu mengenakan jaket dan mengambil senter. Ia mendongak melihat Meera dari bawah. “Kau yakin tidak mau ikut?” bujuknya.
“Tidak,” jawab Meera tanpa menoleh dari ponselnya.
Akhirnya Flo seorang diri jalan-jalan di tepi danau. Langit lebih terang sekarang, walau matahari belum memperlihatkan wujudnya. Baru sinar-sinar kekuningan dan oranye lembut terlihat dari atas permukaan danau. Suasananya tenang. Kabin-kabin juga terlihat lengang. Burung-burung berkicau sembari terbang melintas. Flo berjalan di atas dermaga.
“Aahh. Udaranya sejuk sekali,” gumam Flo sambil memejamkan mata. Ia menarik napas banyak-banyak dan mengembuskannya, membuka kedua lengan lebar-lebar lalu menyatukan telapak tangan di depan dada. “Nyaman juga sepertinya meditasi di sini.”
Sembari menunggu matahari terbit, Flo duduk-duduk di atas dermaga. Kakinya mengayun-ngayun di bawah papan kayu, mendengarkan riak air yang halus.
Beberapa menit kemudian Flo merasakan papan kayu dermaga berderit. Ia menoleh. Landon berjalan dengan kedua tangan terbenam di dalam saku jaketnya. Cowok itu menyapa Flo.
“Hei. Kau ke sini juga rupanya.” Cowok itu duduk di sebelah Flo, kedua tangan masih berada di dalam sakunya.
Flo kembali melihat ke danau. “Ya. Aku tadi mengajak Meera, tapi dia tidak mau ikut.”
Sedikit cerita tentang Flo dan Landon. Kini mereka berdua jauh lebih dekat semenjak Landon mengantar Flo pulang ke rumah, sehabis kembali dari karyawisata ski beberapa bulan yang lalu. Istilahnya mereka sudah menjadi teman yang bisa disapa dan diajak mengobrol kapan saja. Dan sekarang juga, Flo bisa mengobrol dengan Landon tanpa merasa canggung atau mempertanyakan apakah dirinya tertarik pada cowok itu tanpa merasa sedikit segan. Sejujurnya, Flo sampai detik ini tidak tahu apakah dirinya benar-benar menyukai cowok itu. Mengakui atau menyadari perasaan adalah satu hal yang sulit untuknya.
“Kau sudah dari tadi di sini?” tanya Landon.
“Baru saja,” jawab Flo. “Kau keluar untuk mencari angin atau karena tidak bisa tidur? Kemarin kau dan para cowok yang lain tidur larut sekali.”
“Aku kemari untuk melihat matahari terbit.”
Flo teringat sesuatu. Bibirnya membulat sebelum berbicara. “Oh iya, aku ingat. Sewaktu karyawisata musim dingin kemarin aku juga sering melihatmu di balkon penginapan pagi-pagi.”
Kening Landon berkerut samar. “Sering?”