Flo, Meera, Karin, dan Nuna baru sampai di tepi danau pukul lima sore. Mereka melewatkan makan siang, ditambah di tengah perjalanan sering berhenti karena keempatnya sudah lelah mendayung. Beruntungnya, seiring menurunnya matahari, udara semakin sejuk.
Sally yang sedang berada di dermaga melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Ia turun dari dermaga saat kedua kano itu menepi di tepi danau.
“Hah. Akhirnya sampai juga,” desah Meera ketika kanonya mengambang di atas pasir dengan air dangkal. Gadis itu langsung melompat keluar dan meletakkan dayungnya.
Karin juga melakukan hal yang sama. “Huft, tanganku pegal semua.” Ia merentangkan kedua tangannya ke atas.
Flo dan Nuna mendorong kano mereka ke pasir basah agar tidak hanyut dibawa air.
Flo merapikan kedua dayung mereka dan melepas pelampungnya. “Kita sukses menghabiskan waktu sepanjang hari di atas kano.” Gadis itu duduk di pasir kering sambil meluruskan kedua kakinya. “Kakiku kram.”
Nuna menjatuhkan diri di sebelah Flo. “Ah, capek sekali. Aku butuh asupan gizi.” Ia berbaring di atas pasir, masih mengenakan pelampungnya.
Sally berlari kecil menghampiri mereka berempat. “Hei, kalian!” sapanya. “Aku tidak melihat kalian sepanjang hari.”
“Yah, kami terdampar di tengah danau,” Nuna merespons, masih berbaring di pasir.
“Yep,” timpal Flo.
“Memangnya kalian dari mana saja?” tanya Sally. Ia memperhatikan dua kano itu. “Aku baru tahu kita bisa menyewa kano di sini.”
Meera berjalan terseok-seok dengan terengah-engah ke arah Sally. “Kami habis memutari danau ini,” jawabnya. Ia berhenti untuk mengambil napas. “Memangnya kau tidak melihat ada dua kano mengambang di tengah danau?”
Sally menggeleng. “Tidak. Kami semua berkumpul di kabin Owen sambil menonton film.”
“Aku lapar. Lebih baik kita makan dulu,” kata Karin. Ia berjalan duluan menuju kabin.
“Bagaimana dengan kano-kano Pak Tom?” tanya Flo.
Nuna bangkit dari posisi berbaringnya. “Kita tinggalkan saja dulu.” Ia berdiri. “Nanti kita kembalikan sehabis mengisi perut.” Gadis itu berbalik menyusul Karin.
“Nuna, kau sebaiknya melepas pelampungmu dulu,” kata Meera.
Nuna spontan menunduk melihat pakaiannya. “Oh, iya.” Lalu melepas pelampungnya dan melemparkannya ke dalam kano.
Saat mereka kembali ke kabin, teman-teman mereka sedang menyalakan api unggun. Para cowok menambahkan banyak kayu bakar agar api semakin besar, anak-anak yang lain duduk mengelilinginya. Eagle memainkan gitar. Terlihat banyak bungkusan marshmallow dan keripik di sekitar mereka. Fabian, seperti biasa, menunjukkan aksi saltonya.
Monroe berdiri dari duduknya ketika melihat gadis-gadis itu. Ia langsung menghampiri Meera.
“Hei,” sapa Monroe. Ada sedikit aura kecanggungan di antara mereka berdua.
Keempat gadis yang lain hanya berhenti sebentar, lalu meninggalkan pasangan itu. Sally berjalan berdampingan dengan Flo, ia merangkul gadis itu. Flo mengeluh karena pundaknya pegal. Nuna dan Karin yang berada di depan membicarakan apakah masih ada makanan tersisa.
Meera berdiri di hadapan Monroe. “Ada apa?” gadis itu bertanya, berusaha menyembunyikan perasaan tidak nyamannya.
Monroe memperhatikan pacarnya sesaat. “Kau kenapa?” tanya cowok itu. “Kau pergi begitu saja ketika kusapa pagi ini. Lantas menghilang sepanjang hari mendayung kano.”
Meera tidak menjawab apa-apa.
“Meera,” panggil Monroe. “Apa kau marah padaku?”
Gadis itu mengusap wajahnya. “Ah, sulit menjelaskannya.”
“Kita baik-baik saja kemarin. Dan tiba-tiba kau mengacuhkanku hari ini,” ujar Monroe tidak mengerti, kulit di sekitar matanya berkerut.
“Mungkin aku hanya bersikap kekanak-kanakan.”
“Apa maksudmu?”
“Mungkin aku…” Ucapan Meera menggantung di udara. “Hanya sedikit cemburu.”
Jujur saja, Meera malu mengatakan ini. Bulan depan adalah hari jadi mereka yang kesatu tahun, tetapi ia masih sering diliputi rasa cemburu sampai sekarang.
Monroe terdiam sejenak, lalu matanya melebar. “Ya Tuhan,” keluhnya. “Belinda?”
Meera tidak menjawab. Ia hanya menatap arah lain dengan cuek.