“Jadi, reruntuhan kastil itu tadinya sebuah hotel?” tanya Flo.
Flo, Meera, dan Sally duduk bersama di beranda kabin Pak Tom sambil bersantai dan minum kopi. Kopi buatan Pak Tom nikmat sekali, walaupun pahit tetapi terasa enak. Flo dan Meera duduk di atas pagar beranda yang terbuat dari kayu, dengan secangkir kopi di tangan mereka. Sally duduk di bawah anak tangga beranda kabin.
Pak Tom mengangguk. “Ya. Hotel itu awalnya dibangun menyerupai bentuk kastil, agar menumbuhkan suasana kuno dan klasik. Tapi sekitar puluhan tahun yang lalu, terjadi badai besar dan angin ribut, meruntuhkan hotel kastil itu. Lebih dari setengah bangunan rusak parah. Si pemilik hotel juga tidak mampu merenovasi karena hotelnya juga tidak terlalu terkenal, secara kasarnya jarang pengunjung dan wisatawan yang bermalam di sana. Sejak saat itu, hotel tersebut ditinggalkan dan hanya menjadi semacam reruntuhan kastil sampai hari ini.”
Ketiga gadis itu manggut-manggut mendengar penjelasan Pak Tom. Termasuk Sally, yang sebenarnya belum pernah melihat reruntuhaan kastil itu, dan kini membuatnya semakin penasaran.
“Aku sudah menduga kalau reruntuhan kastil itu bukan peninggalan penjajahan atau kerajaan,” gumam Meera. Ia menyesap kopinya.
“Apa kalian sudah pernah melihat-lihat ke sana?” tanya Pak Tom.
Flo menggeleng. “Belum. Kami melihatnya dari atas danau ketika sedang mendayung kano.” Ia menoleh ke arah timur laut danau. Sejauh mata memandang hanya terlihat permukaan air yang gelap. “Tapi reruntuhan kastil itu sama sekali tidak terlihat dari sini, ya? Kurasa jika kami tidak berkano memutari danau, kami juga tidak akan mengetahuinya.”
“Betul.” Pak Tom mengangguk. Ia mengikuti arah pandangan Flo. “Kalian paling tidak harus berlayar ke utara sampai ke tengah danau untuk bisa melihatnya. Dataran-dataran tinggi berbukit di bagian timur menutupi reruntuhan kastil, dan posisi bangunan itu juga condong ke danau karena dibangun di dataran tinggi yang memiliki tebing rendah.”
“Apa Anda sendiri sudah pernah mengunjungi reruntuhan kastil itu?” tanya Sally kepada Pak Tom.
“Mungkin sekali atau dua kali. Aku jarang sekali datang ke sana, karena berada di sisi lain danau. Kalau pun menggunakan jalur darat, kalian harus berjalan jauh ke tenggara lalu lanjut ke timur. Dan di sini tidak ada mobil atau kendaraan serupa. Jadi, aku lebih sering berada di sekitar kabin saja,” balas Pak Tom sambil tersenyum. Ia menuangkan kopi ke dalam cangkirnya lagi. “Ada yang mau lagi?”