“Monster Loch Ness, atau lebih tepatnya, Monster Loh Nez, itu nyata. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Meera pada siang hari.
Meera, Flo, Sally, dan Owen duduk bersama di meja piknik. Mereka memilih meja yang cukup jauh dari anak-anak yang berlalu-lalang di sekitar tepi danau.
Setelah menyaksikan Nessie itu pada pukul tiga pagi, dan menunggu beberapa lama untuk memastikan keadaan cukup aman bagi mereka kembali ke kabin dengan kano, keempat remaja itu baru tiba di dermaga hampir pukul enam. Owen bahkan tidak bisa tidur dengan tenang, sementara Flo dan Meera membahas kejadian itu sampai matahari meninggi di luar di dalam kabin mereka.
Owen melipat kedua lengannya. “Aku belum memikirkan tentang itu.”
“Jadi kau mengatakan rencanamu sebenarnya hanya untuk melihat Nessie itu lagi?” tanya Sally dari seberang meja.
“Well, dari awal saja itu akan menjadi sulit. Aku tidak benar-benar berpikir akan melihatnya lagi, apalagi menemukannya. Kemungkinan itu sangat kecil.” Owen menaruh lengannya di atas meja. “Tapi tadi pagi aku melihatnya lagi dan kini aku tidak tahu.”
Flo menoleh ke arah danau, lalu kembali kepada ketiga temannya. “Apakah pandangan kalian berubah tentang Danau Loh Nez? Siapa yang tahu ada monster besar seperti Elasmosaurus di dalamnya, dan teman-teman kita masih bermain di danau dengan asyik.”
“Itu karena mereka tidak tahu apa yang kita ketahui,” ujar Sally.
Tidak jauh dari mereka, pintu kabin Pak Tom terbuka. Penjaga danau itu keluar dengan kapak kecil tergantung di punggungnya, dia juga membawa semacam karung atau kantong besar. Pak Tom berjalan menuju hutan.
“Aku tidak pernah melihat Pak Tom berada di luar beranda kabinnya,” kata Flo. Ia menjulurkan lehernya mengamati punggung penjaga danau itu.
Meera, Sally, dan Owen mengikuti arah pandangan Flo.
Owen menoleh kembali. “Beliau pasti pergi mencari buah-buahan dan menebang kayu.”
“Kalau dipikir-pikir, Pak Tom tidak pernah benar-benar menyapa wisatawan yang menyewa kabin di sini,” kata Sally.
“Bahkan Fabian berkata kalau dia melihat Pak Tom berbicara kepada danau. Dia merasa bapak penjaga danau itu aneh,” Owen memberitahu.
“Seriusan?” tanya Meera.
Owen mengangguk.
“Apa yang sebenarnya kalian bicarakan di dalam kabin?” tanya Flo kepada Owen, ia memajukan tubuhnya. Gadis itu tiba-tiba penasaran tentang apa yang dilakukan dan dibicarakan para cowok ketika mereka sedang berkumpul. “Kalian selalu memiliki guyonan yang hanya kalian yang tahu.”
“Tidak banyak. Kebanyakan dari itu semua adalah hal-hal konyol. Sering kali juga Fabian menceritakan sesuatu yang tidak terlihat tetapi terasa.”
Ketiga gadis di hadapan Owen menatapnya serius.
“Apa?” cowok itu mengerutkan kening.
Flo meluruskan lehernya. “Dia terdengar seperti Meera.”
“Kenapa jadi aku?”
“Kau terkadang juga melakukan semacam perilaku indigo,” jawab Flo.
“Mungkin kau harus berkencan dengannya,” goda Sally kepada Meera. Ia tertawa.
Meera memundurkan wajahnya, sedikit defensif. “Ew, tidak, sori saja. Aku sudah memiliki Monroe. Mungkin kau yang seharusnya sekarang berkencan dengannya. Kau sudah terlalu lama menggantungkan cowok itu.”
Sally menunjukkan ekspresi memberengut.
“Bukankah Eagle juga pernah menyukai Sally?” tanya Owen, ikut menggoda Sally.
“Oh, ayolah,” Sally mengeluh.
“Aah, Sally ternyata sangat populer di antara para cowok,” ujar Flo dengan nada menyebalkan. Ia menyatukan kedua tangannya di bawah dagu dan memandang Sally penuh antusias.
Sally mendorong wajah Flo dengan telapak tangannya. “Bisakah kita kembali ke topik yang sebenarnya?”
“Ayo kita pergi ke reruntuhkan kastil lagi,” usul Meera, ia memajukan tubuhnya. “Aku belum puas melihatnya tadi malam, pencahayaan yang minim. Dengan adanya sinar matahari kita bisa lebih mudah dan leluasa memeriksa reruntuhan kastil itu.”
“Kau tampaknya sangat tertarik,” komentar Owen.
“Aku memang sudah penasaran sejak pertama kali melihatnya. Seperti ada sesuatu yang menarik tentang kastil itu.”
“Benar, kan. Dia seperti Fabian,” kata Flo sambil menunjuk Meera.
Beberapa anak berlalu-lalang di sekitar mereka. Zizzy dan Karin lewat tidak jauh dari meja piknik, lantas berhenti dan bertanya mereka berempat sedang melakukan apa. Salah satu teman sekelas mereka menghampiri Flo, membicarakan sesuatu. Satu dua anak yang lain juga menyapa, bahkan Alan sempat tinggal kurang lebih dua menit untuk mengajak Owen menjelajahi hutan bersama para cowok.
“Sepertinya kita tidak bisa melakukannya sekarang,” ujar Owen ketika di sekitar mereka sudah sepi. “Terlalu banyak saksi mata. Kalaupun kita berempat pergi berkano saat ini juga, yang lain pasti akan penasaran dan bertanya, besar kemungkinan mereka juga ingin ikut serta.”
“Sekarang saja sudah terlihat aneh karena tiba-tiba kami menghabiskan waktu denganmu,” celetuk Meera kepada Owen.