Hujan pagi itu turun seperti salam pertama setelah lama tak bertemu. Perlahan, hati-hati, seolah takut mengganggu kesunyian yang sudah menemaniku berbulan-bulan. Aku berdiri di teras tanpa niat apa pun; hanya duduk dan membiarkan udara basah menyentuh wajahku. Anehnya, tidak ada rasa ingin berlari atau masuk ke dalam rumah seperti biasanya. Hujan itu justru membuatku diam—diam yang berbeda dari diam selama ini. Bukan karena lelah, bukan karena kosong. Tapi karena aku merasa… ditemani. Entah sejak kapan aku menunggu hujan seperti ini. Bukan hujan yang deras dan menggila, tapi hujan yang turun seperti napas: pelan, tegas, dan jujur.
Beberapa bulan terakhir, aku seperti hidup di dalam ruang kaca. Melihat dunia bergerak, tapi aku sendiri terasa beku. Orang-orang berjalan, tertawa, mengeluh, mengerjakan banyak hal—sementara aku cuma mencoba bertahan dari hari ke hari. Aku tidak pernah bilang aku kuat. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya berhenti. Kesedihan yang lama ternyata tidak pergi begitu saja. Ia seperti abu yang menempel di sudut ruangan—kadang tak terlihat, tapi selalu ada. Namun pagi itu, saat hujan jatuh satu-satu di atap rumah, sesuatu di dalam diriku seperti diseka pelan. Bukan hilang. Hanya… disentuh.
Hujan selalu punya cara sendiri untuk menyampaikan banyak hal tanpa bicara. Ia datang, lalu pergi. Tanpa penjelasan, tanpa janji. Tapi selalu meninggalkan jejak. Aku merasa seperti tanah kering yang akhirnya tersiram, meski sedikit. Ada rasa lega, tapi juga perih. Karena ketika hujan menyentuh tanah, ia juga mengangkat aroma yang tersembunyi—aroma yang hanya muncul setelah luka dibasuh. Begitu pula denganku. Saat hujan menyentuh perasaanku, beberapa kenangan muncul di permukaan. Kenangan yang selama ini kuanggap sudah hilang. Ternyata hanya bersembunyi, menunggu waktu tepat untuk kembali. Kenangan itu tidak langsung menghancurkanku.
Tidak seperti dulu, ketika setiap ingatan bisa membuatku berhenti bernapas. Kali ini rasanya lebih lembut, meski tetap membuat dadaku menghangat dengan cara yang sulit dijelaskan. Mungkin karena aku sudah sedikit lebih siap. Atau mungkin karena aku sudah terlalu lelah untuk terus melawan. Aku menatap titik hujan jatuh di halaman. Air menetes dari ujung dedaunan, berkumpul di tanah, lalu mengalir kecil di antara batu-batu. Ada rasa tenang melihat sesuatu berjalan apa adanya—tanpa harus dipaksa, tanpa harus diarahkan. “Aku juga begitu,” batinku pelan. “Mengalir saja. Walau pelan. Walau tidak tahu akan ke mana.” Sudah lama aku tidak berbicara dengan diriku sendiri. Biasanya aku hanya tenggelam dalam pikiran yang saling bertabrakan. Namun hari itu, aku benar-benar mendengar diriku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak melarikan diri dari apa yang kurasakan. Rasanya seperti duduk dengan seseorang yang dulu pernah kusakiti, lalu mencoba bicara dari awal lagi. Canggung, tapi perlu.