Sempat oleng beberapa detik tapi cewek dengan tinggi seratus lima puluh senti itu berhasil menyeimbangkan motor dengan sigap menurunkan kedua kakinya ke aspal
“Woe!” teriaknya lalu mematikan mesin motor. Ia memakai masker, dipadu dengan helm dan jaket merah. Tersisa matanya yang mengintip di balik helm.
Tak lama, kaca mobil itu diturunkan. Revi bisa melihat wajah pengendara mobil super keren yang hampir membunuhnya detik sebelumnya. Nafasnya sedikit tercekat melihat siapa yang ada dalam mobil. Sendirian.
Sial, umpatnya.
Mobil dan pemiliknya sama-sama keren. Perpaduan yang baik dari bentuk wajah, hidung, mata, bibir dan kulitnya yang asli, putih banget. Revi berdecak, kecantikannya kalah dengan ketampanan cowok itu.
Namun, jika Revi tidak segera mendengar permintaan maaf, cowok itu tidak akan tampak keren lagi di matanya. Bicara soal mata, baru saja Revi hendak membuka mulut, cowok itu sudah mendahuluinya dengan pertanyaan yang memancing emosi.
“Punya mata, kan?!”
Revi melongo, nada bicara yang digunakan cowok itu saat bicara terdengar jutek. “Kalau nggak tahu apa fungsi mata lu, jangan pakai motor,” lanjutnya.
Abaikan wajah tampannya, mobil kerennya, karena Revi seperti melihat iblis yang minta dihajar dengan doa dan satu tamparan di salah satu pipinya. Secara tidak langsung, kata-kata cowok tadi seperti ajakan perang untuk Revi.
Dia yang salah, dia yang marah. Revi membatin.
Tidak terima diomeli dan disalahkan, Revi lalu membuka kaca helmnya, sekadar memperlihatkan kilatan api semu dari matanya yang berkobar-kobar. Panassssss!
“Eh, cowok kampret belagu dan nggak tahu diri, lu harusnya minta maaf. Asal tahu aja, gue nyaris meregang nyawa di jalanan karena lu nggak tahu etika berkendara.”
Masker yang menghalangi bibir Revi tidak mengurangi tekanan-tekanan pada setiap kata yang ia keluarkan. Akan tetapi, respons yang ia terima selanjutnya sungguh mencengangkan. Dunia persilatan dan perbatasan mungkin beranggapan sama.
Cowok itu tertawa garing dengan satu kata yang di ulang. “Ha ha.”
“Gue nggak butuh ketawa lu, ya.” Revi mengingatkan. Ia hanya ingin mendengar kata
maaf, bukan menonton pertunjukan tawa iblis.
Menurut Revi, minta maaf itu cukup mudah dilakukan. Tidak sesulit meyakinkan orang-orang kalau kopi itu manis. Dijamin, sampai langit jebol, tidak ada yang percaya. Kecuali campuran gulanya melebihi kadar yang dianggap normal.
“Gue udah nyalain lampu sein, bunyiin klakson, eh elu nyosor seenaknya. Kalau gue kenapa-napa, jatuh terus mati, mau gantiin gue di kuburan?” Revi suka berlebihan kalau menyangkut keselamatan nyawanya.
“Bodo amat.” Cowok itu berkata dingin, menaikkan kaca mobil lalu meninggalkan Revi begitu saja. Tak ada ucapan perpisahan, lambaian tangan, apalagi permintaan maaf.
Penghinaan yang tidak pantas dimaklumi.
Revi sempat meneriakinya agar berhenti dan hal itu justru membuat dirinya kerepotan menghadapi tatapan aneh dari siswa lain.
Revi menurunkan kaca helm sambil mengoceh, “Percuma emaknya ngandung sembilan bulan, ngedan sekuat tenaga pas persalinan, cuma untuk ngelahirin manusia kampret kayak dia. Untung wajahnya cakep, coba kalau enggak. Udah gue kutuk dua hari dua malam non stop.”
Bel tanda upacara menghentikan gerutuan Revi. Ia buru-buru mengendarai motornya ke dalam parkiran. Di sana ia menenangkan diri dari amarah dan fokus pada tujuannya ke sekolah. Untuk belajar, bukan untuk marah-marah.
Lagi pula, mereka satu sekolah, pasti bertemu lagi. Saat itu tiba, ia pastikan cowok tadi mendapatkan ganjaran untuk sikap tidak bertanggungjawabnya pagi ini.
***
Selepas upacara, Revi berkeliling mencari kelas di mana ia ditempatkan. Pembagian kelas siswa baru ditempel di pintu setiap ruangan, Revi yang singgah dari satu kelas ke kelas lain masih belum menemukan namanya.
“Revinaaa.”
Revi menoleh ketika namanya disebut dengan suara cempreng yang familier. Ia mendapati Difa melambaikan tangan penuh semangat dari depan kelas X.3. Karena tidak tega melihat suara sahabatnya terbuang percuma, Revi terpaksa memutar tubuh dan menghampirinya dengan langkah gontai.
“Mau ke mana lu? Hari pertama masuk kelas nggak boleh buat masalah loh. Ingat pas mos, senior bilang guru di sini galak-galak,” ucap Difa begitu Revi berdiri di depannya.
Difa ini teman akrabnya di SMP, mereka sama-sama mendaftar di SMA 1 Karya ini karena tidak ingin pisah ceritanya. Alasan konyol untuk menutupi kekurangan mereka yang sulit beradaptasi di tempat baru, sulit dapat teman baru juga.
“He eh, ingat.” Revi menghela napas kemudian berpindah ke samping kiri Difa. “Nih gue lagi cari kelas gue.”