Harapan Revi bahwa tidak ada yang berubah setelah Vano jadi kakaknya tinggal kenangan. Mustahil. Besoknya di sekolah, Vano langsung membuat pengumuman di kantin.
Vano bertepuk tangan dan berdiri di atas meja. “Teman, adek-adek, tolong perhatiannya ke sini. Gue mau ngasih informasi penting.”
Difa menyenggol lengan Revi lalu berbisik pelan, “Kakak lu tuh.”
Revi hanya bergumam dan ingin melanjutkan makan bakso tapi Vano menggagalkannya.
“Revina, lu ke sini dulu,” panggilnya dari panggung yang terbuat dari kumpulan meja.
Semua orang memicingkan matanya ke arah Revi dan itu sangat mengintimidasi. Revi terpaksa mengikuti kemauan Vano, dengan raut wajah putus asa, ia berjalan ke sisi panggung.
Vano turun dan berdiri di dekatnya. Tanpa malu, ia lalu merangkul Revi, menyebabkan kehebohan dalam kantin. Ada yang berteriak cie cie, ada yang berseru tidak jelas, ada juga yang melongo.
Wah, tenang teman-teman, ini tidak seperti yang kalian kira. Andai Revi bisa menyuarakan itu.
Vano melebarkan senyumnya. Tampak berkuasa dan percaya diri jadi pusat perhatian, sedangkan bagi Revi, itu memalukan.
“Mulai sekarang, siapapun yang ganggu Revina di sekolah, akan berurusan sama gue,” seru Vano. Menimbulkan banyak pertanyaan baru dan kernyitan di dahi yang lain.
Seorang cowok menyerobot masuk ke kantin dan menghampiri Vano dan Revi. Ia melirik Revi dengan tatapan tanpa emosi. “Memangnya kenapa, Van? Dia pacar baru lu?” tanyanya.
Vano menggeleng dan wajahnya tetap tersenyum. “Dia ini adek gue,” jawabnya kalem pada cowok tadi lalu beralih ke seluruh penjuru kantin. “Kalian dengar? Revina ini adek gue. Jadi awas kalau ada yang berani ganggu dia,” ancamnya.
Seisi kantin langsung serentak membentuk huruf O di mulutnya sambil manggut- manggut.
Setelah sesi pengumuman selesai, Vano belum mau melepaskan Revi. Ia mengenalkan dua sahabatnya. Aldo dan cowok yang baru datang tadi.
“Nah, Rev, dia itu namanya Andi Alendra, asli Makassar tapi udah lama tinggal di Bandung.” Vano menyentuh pundak cowok itu. “Jangan hiraukan wajahnya yang sedatar tembok dan ekspresinya yang bikin kesal, hatinya baik kok, percaya sama kakak.”
Cara Vano mengenalkan Alendra membuat Aldo tertawa. Alendra tidak sebaik yang Vano bilang. Yang dibicarakan bersikap cuek.
“Lu boleh panggil dia kak Alendra, Andi PahAlendra kepanjangan, bikin napas abis dan jantung berdebar-debar kalau keseringan disebut,” lanjut Vano lebai.
Alendra, Alendra, Alendra. Keren sih namanya, kayak tampangnya.
“Oh, jadi namanya Alendra?” tanya Revi pada Vano lalu maju selangkah ke depan Alendra, menatap lekat-lekat matanya. Tidak ada perubahan dari raut wajah Alendra yang tampak dingin ketika membalas tatapan Revi.
Apa iya dia pura-pura atau memang tidak ingat? tanya Revi dalam hati.
“He eh,” jawab Vano sambil melebarkan senyumnya. Cowok itu kebanyakan senyum pagi ini. “Cakep, kan? Lu udah kenal dia?”
Revi menggeleng lalu melayangkan satu tamparan ke wajah Alendra. “Gue nggak kenal tapi gue selalu pengen nampar dia,” jawab Revi sambil tersenyum sinis pada Alendra. “Cowok kampret belagu dan nggak tahu diri, Lu utang permohonan maaf ke gue.”
Aldo menjerit singkat, yang lain melotot dan Alendra hanya bisa berdesis karena tangannya sudah ditahan oleh Vano.
“Udah ingat siapa gue?” Revi tersenyum puas. Ini untungnya punya kakak, Alendra tidak punya kesempatan membalas karena Vano mengeratkan pegangannya pada cowok itu.
Aldo terkagum-kagum. “Gue udah sering liat Alendra punya skandal dengan cewek, tapi ini pertamakalinya gue lihat ada cewek yang menamparnya.”
“Diam lu!” bentak Alendra selagi ia dan Revi adu tatap-tatapan.
Perkenalan yang kacau dan di situlah pertikaian antara Revi dan de kampret Alendra bermula.
***
Menjadi musuh Alendra tidak termasuk dalam skenario hidup seorang Revina. Apa yang terjadi di kantin kemarin adalah takdir. Ya, takdir, Alendra ditakdirkan untuk ditampar oleh adik sahabatnya.
Kejadian itu tidak mengganggu keseharian Revi di sekolah. Ia terlindungi dari balas dendam yang mungkin direncanakan Alendra karena ia adalah adik dari Vano. Tapi bukan berarti tidak ada balas dendam. Alendra tidak sebaik itu. Sayangnya, Revi tidak menyadarinya lebih cepat.
"Gimana hasil lab kemarin?" tanya Difa pada Revi yang serius membaca poster seminar di mading.
"Kacau.” Revi mendesah lalu menghadap Difa. “Bu Hera nyuruh tiap orang mempraktekkan di depan. Dan lu tahu, kami ada tiga puluh orang. Gue sampai teler nunggu pulang."
Revi tidak mengada-ada, kemarin ia memang teler, teler dalam artian pas sampai rumah, Revi langsung tidur tanpa ganti pakaian.
Difa menepuk pundak Revi dengan gemas sambil terkikik. "Eh," raut wajah Difa berubah bersamaan dengan matanya yang melihat ke belakang Revi.
Penasaran, Revi berbalik dan melihat ke mana mata Difa tertuju. Alendra tampak berlari ke arahnya.
Ngapain iblis itu lari-lari di sekolah. Kurang kerjaan amat.
Revi memutar kepala kembali menghadap Difa. "Nggak usah dipeduli, orang aneh,