Aku. Lathifa Rahma. Panggil saja Lathifa atau beberapa orang memanggilku Ama. Aku seorang santriwati di sebuah pondok pesantren modern yang berdiri di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Masa-masa indah berada dalam lingkungan religius yang kental menancapkan rasa tenang dan tentram di dalam hatiku. Masa remaja yang dihiasi dengan sederet peraturan ketat untuk mencetak rasa disiplin dalam diri menjadi rutinitas harianku.
"Bagi seluruh santri putri, 3 menit lagi gerbang asrama akan ditutup. Segera untuk berangkat ke madrasah1."
Terdengar himbauan keras yang di ucapkan oleh para siswa yang menjadi Osis bagian keamanan yang menjadi penanda bahwa sebentar lagi kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai. Kala itu aku masih menjadi santriwati kelas 3 Tsanawiyah, masih menjadi remaja labil yang haus akan pengalaman. Selain itu, aku masih menjadi siswa yang sedang ribet mengurus sekolah lanjutanku.
"Ama! nanti jam pelajaran ke 3 - 4 antar aku ke bagian pendaftaran Aliyah ya?" ajak Naila - salah satu teman baikku kala itu - yang tiba-tiba melongokkan kepalaku ke dalam ruang kelasku setelah kegiatan doa pagi selesai.
Melalui penggilannya, aku hanya memberikan sedikit senyum tipis sambil memperhatikan dia dan kemudian mengangguk setelah ajakannya tuntas.
"Okei! nanti aku panggil ya... dadaahh," responnya setelah melihat anggukanku seraya berjalan menjauh menuju ruang kelasnya. Kita memang berbeda ruang kelas, aku duduk dibangku kelas IX E sedangkan Naila duduk adalah murid di kelas IX C.
Aku tidak memiliki banyak teman saat duduk dibangku Tsanawiyah. Entah, menurutku ada sebuah stereotipe yang tertanam mengatakan bahwa agar memiliki banyak teman ya paling tidak kita harus mampu setara dengan gaya hidup yang mewah atau paling tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah 'Ning' atau 'Gus'2. Tapi pada kasusku, mungkin memang aku yang tidak pandai bergaul dengan sebayaku kala itu.
*****
"Ama, kamu berkas pendaftarannya kurang apa aja?" tanya Naila padaku saat kita berjalan didepan area masjid kompleks putra menuju ke bagian pendaftaran Madrasah Aliyah.
"Udah sih kalo aku, kurang tes masuknya aja kok," jawabku.
Sebenarnya bagian pendaftaran Aliyah berada di kawasan asrama putri. Tapi, pada saat jam pelajaran seperti ini, gerbang asrama akan dikunci, sehingga mengharuskan santriwati memutar melewati area depan masjid kawasan asrama putra.
Langkah kaki ku dan Naila akhirnya tiba di sebuah pendopo - bagian pendaftaran Aliyah bagi santri alumni - lanjutan dari Tsanawiyah ke Aliyah dari pondok yang sama.
Serangkaian tes dan penyerahan berkas milikku sudah selesai, karena memang aku lebih dahulu mengajukan dibandingkan Naila. Saat-saat aku menunggu Naila yang masih berada dibilik ruang tes wawancara, ada seorang santri putra yang duduk tidak jauh dariku.
"Hei... kamu Thifa?" tanyanya dengan tanpa memandang ke arahku.
Beberapa saat pertanyaan itu tidak menemui jawaban. Mulutku masih terkunci rapat, sesekali aku menoleh mengawasi sekitar, takut-takut jika interaksi antara aku dan santri putra itu terekam atau diawasi oleh mbak atau kang pengurus pondok.