Aku masih bisa merasakan dinginnya air hujan yang mengguyur aspal tol Cipularang malam itu. Tetesan yang menempel di kaca jendela mobil, kabut tipis yang menghalangi pandangan, dan betapa licin jalanan yang kami lalui. Detik-detik sebelum kecelakaan itu masih terekam jelas dalam ingatanku—seperti film yang diputar ulang berkali-kali tanpa bisa dihentikan.
"Pelan-pelan, jalan licin," bisikku pada Deni, teman SMA yang menyetir malam itu. Kami baru pulang dari acara reuni di Bandung, berencana kembali ke Jakarta sebelum tengah malam.
Deni hanya mengangguk sambil menggenggam erat setir. Tapi entah bagaimana—mungkin karena kelelahan, mungkin karena jalan yang memang berbahaya—mobil kami tiba-tiba oleng. Aku ingat bagaimana tubuhku terlempar ke kanan, lalu ke kiri, saat mobil menabrak pembatas dan berguling dua kali sebelum berhenti dengan posisi terbalik.
Yang tersisa hanyalah fragmen-fragmen: serpihan kaca berserakan, bau bensin bercampur darah yang menyengat, rasa logam di mulutku, dan kegelapan yang menelan segala-galanya. Ketika kesadaranku kembali sesaat, aku merasakan kaki kananku terjepit di bawah plat besi yang bengkok, darah mengalir dari pelipis, dan napas yang terasa berat di dada.
Suara sirine ambulans terdengar samar, mendekat perlahan. Di tengah pening yang menyerang kepalaku, seseorang berlutut di sampingku. Tangan yang hangat menyentuh dahiku dengan lembut, suara yang tenang berbisik, "Dek, kamu akan baik-baik saja. Bernapaslah pelan-pelan."
Aku tidak tahu siapa orang itu—wajahnya kabur, seperti bayangan di balik air. Yang kuingat hanyalah betapa suara itu memberikan ketenangan di tengah kekacauan. Seolah-olah ada seseorang yang benar-benar peduli apakah aku hidup atau mati.
Beberapa hari kemudian, saat aku terbangun di ruang ICU dengan perban melilit kepala dan gips di kakiku, perawat memberitahuku tentang sosok penyelamat itu bernama dr. Rama Wijaya, kepala bagian bedah di Rumah Sakit Bugar Raga Bandung.
“Kebetulan dokter Rama malam itu lagi melintas di lokasi kecelakaan. Tanpa berpikir panjang, dokter Rama turun dari mobilnya, lalu memasukkan kamu ke dalam mobilnya, terus dibawa ke rumah sakit,” cerita perawat sambil mengganti infus. “Malam itu juga dokter Rama langsung menanganiku.”
Sejak saat itu, dalam hatiku, nama dr. Rama terukir sebagai malaikat penyelamat.
***
Sepuluh tahun berlalu seperti angin. Jakarta malam itu terasa panas meski AC redaksi menyala kencang. Aku duduk di depan monitor, jari-jariku mengetik lambat di atas keyboard yang mulai aus huruf-hurufnya. Jam dinding berdetak menuju pukul sebelas, tapi suasana kantor masih hiruk-pikuk—khas media nasional yang tak pernah benar-benar tidur.
Andra, wartawan senior yang sudah seperti kakak bagiku, menghampiri dengan dua gelas kopi. "Masih lembur? Kamu ini workaholic ya."
Aku menerima gelas itu sambil tersenyum lelah. "Mau gimana, deadline feature tentang rumah sakit swasta belum kelar."
"Jaga kesehatan, Ran. Jangan sampai sakit gara-gara kerjaan," Andra duduk di kursi sebelah. "Udah makan?"
"Belum sempat." Aku menyesap kopiku, merasakan pahit yang familiar di lidah. "Tapi, nggak apa-apa, aku biasa."
Andra menggeleng. "Kamu tuh kadang kelewat idealis. Dunia jurnalisme sekarang beda sama sepuluh tahun lalu. Sekarang rating dan iklan yang bicara."
Ucapan Andra menusuk. Belakangan ini, aku memang merasakan perubahan di tempat kerjaku. Media yang dulu kuhormati karena integritasnya kini perlahan berubah menjadi corong kepentingan bisnis. Berita-berita mulai diwarnai oleh agenda sponsor, sudut pandang dipilih berdasarkan siapa yang membayar lebih mahal.
Tapi aku masih percaya pada jurnalisme sejati—yang mengutamakan fakta daripada sensasi, kebenaran daripada keuntungan. Aku ingat idealismeku saat pertama kali terjun ke dunia ini: ingin menjadi jurnalis yang menyuarakan keadilan.
Sayang, idealisme seperti itu akan segera diuji dengan cara yang tak pernah kubayangkan.
***
Rapat redaksi keesokan harinya berlangsung dalam atmosfer yang berbeda. Pak Surya, pemimpin redaksi yang dikenal galak dan pragmatis, duduk dengan aura yang lebih tegang dari biasanya. Matanya menyapu setiap wartawan yang hadir, seolah menghitung siapa yang bisa diandalkan untuk "misi khusus."
"Ada liputan investigasi yang harus segera kita kerjakan," Surya membuka rapat dengan nada serius. "Rumah Sakit Bugar Raga di Bandung sedang viral di media sosial. Ada bayi yang meninggal, keluarga menuduh ada malpraktik. Netizen sudah mulai heboh, trending topic di X."