Kereta cepat Whoosh yang membawaku pulang dari Bandung tiba di Stasiun Halim ketika langit masih gelap gulita. Jam menunjuk pukul empat dini hari. Mataku perih, tulang punggung nyeri karena duduk berjam-jam, tapi yang paling menyiksa adalah kegaduhan di kepala—pikiran yang tak mau berhenti berputar seperti kaset rusak.
Aku tak langsung beranjak ketika penumpang lain sudah berhamburan keluar. Malah duduk lama di bangku tunggu yang keras, menatap kosong ke arah langit-langit stasiun yang tinggi. Petugas kebersihan sudah mulai beraktivitas dengan sapu ijuk dan pel. Suara sendal jepit mereka bergema di ruang yang mulai lengang. Beberapa penumpang masih terkantuk-kantuk menunggu jemputan, ada yang tidur memeluk tas ransel.
Pertemuan singkat dengan dr.Rama kemarin siang terus berputar di kepalaku bagaikan film yang diputar berulang. Senyum hangat pria itu—senyum yang sama seperti sepuluh tahun lalu ketika menolongku—masih begitu jelas terbayang.
Tapi, yang paling mengganggu adalah bagaimana senyum itu perlahan memudar, berganti raut sedih ketika aku mulai menyinggung soal kasus bayi yang meninggal. Ada kepedihan mendalam di mata Rama, seolah dia sedang menanggung beban jauh lebih berat daripada sekadar tuduhan malpraktik.
Aku merasa seperti orang yang dipaksa menebas pohon rindang yang pernah menyelamatkan hidupku dari terik matahari. "Kenapa harus aku yang melakukan ini?" gumamku lirih, suara serak karena kelelahan.
***
Pagi ketika aku melangkah masuk kantor, mataku masih sembab dan kantung mata menghitam. Ruang redaksi sudah riuh rendah seperti biasa, puluhan rekan sejawat tengah sibuk mengetik di balik layar komputer yang menyala terang, telepon berdering silih berganti, televisi di sudut ruangan menayangkan breaking news tanpa henti dengan suara presenter yang terdengar monoton.
Suasana yang biasanya membuat darahku mendidih penuh semangat, kini justru terasa menyesakkan seperti ruang tanpa ventilasi. Setiap langkah menuju ruangan Surya terasa berat, seolah kakiku diseret beban besi. Seperti terpidana yang berjalan menuju ruang eksekusi.
Surya sudah menunggu dengan posisi duduk tegak di balik meja kerjanya. Pria paruh baya itu tampak sempurna dengan kemeja putih yang disetrika rapi dan dasi abu-abu yang diikat ketat. Wajahnya keras, garis rahang tegas, mata tajam yang selalu membuatku merasa kecil. Ruangannya memang tidak besar, tapi sekujur dinding dipenuhi pigura penghargaan jurnalistik yang berjejer rapi, rak buku tebal-tebal berdiri megah, dan di atas meja kerja kayu jati itu ada asbak kristal penuh dengan puntung rokok yang masih mengepulkan asap tipis.
"Bagaimana, sudah ketemu si Rama?" tanya Surya langsung tanpa mengangkat mata dari berkas di depannya, tanpa basa-basi, tanpa sapaan selamat pagi.
"Sudah, Pak," jawabku singkat sambil menelan ludah.
"Bagus. Lalu?" Surya akhirnya menatapku dengan pandangan menuntut
"Dokter Rama menyangkal semua tuduhan. Dia bilang tidak ada malpraktik. Menurut saya, masih perlu verifikasi lebih mendalam. Bisa jadi ada kesalahpahaman besar di sini."
Surya mulai mengetukkan jarinya ke permukaan meja, bunyi 'tok-tok-tok' yang monoton tapi mengancam. Nadanya dingin seperti es.
"Rani, kamu tahu kan kita ini media massa, bukan lembaga hukum yang bisa menunggu berbulan-bulan. Publik haus berita segar, dan berita harus segera disajikan selagi masih hangat. Kalau kita terlambat, pembaca akan lari ke media lain."
"Tapi Pak, kalau kita salah memberitakan, reputasi seseorang bisa hancur selamanya. Hidup orang bisa berubah total. Itu tidak adil!"
"Tidak ada asap tanpa api, Rani." Suara Surya meninggi, nada bicara semakin keras. "Dengarkan saya baik-baik. Ini bukan soal adil atau tidak adil. Ini tentang siapa yang menguasai narasi publik. Kalau kita tidak bergerak cepat, media kompetitor akan mengambil alih cerita ini. Kita akan kehilangan pembaca, kehilangan pemasang iklan, kehilangan pendapatan. Pada akhirnya, kita semua kehilangan pekerjaan."
Aku menggigit bibir bawah sampai hampir berdarah. Aku paham betul alasan Surya selalu bermuara pada soal pasar, rating, keuntungan finansial. Tapi, kali ini yang dipertaruhkan bukan sekadar angka sirkulasi atau traffic website, melainkan nama baik seseorang yang pernah menyelamatkan hidupku. Seseorang yang kukenal bukan sebagai dokter ambisius, tapi sebagai manusia yang tulus.
Surya mencondongkan tubuh ke depan, mata menyipit. "Rani, jangan terlalu idealis. Kamu masih terlalu muda dan polos. Dunia nyata tidak sesuci dongeng yang kamu baca waktu kecil. Fakta bisa ditafsir dari berbagai sudut, data bisa dibentuk sesuai kebutuhan. Yang penting adalah siapa yang berani bersuara duluan dan paling keras."
Hening sesaat. Aku menunduk dalam-dalam, menatap pola marmer lantai kantor.
"Baik, Pak," jawabku pelan, meski hati kecilku berteriak memberontak.
Sebelum aku sempat melangkah keluar, Surya menambahkan dengan nada yang terdengar seperti ancaman terbuka: "Ingat baik-baik, kalau kamu tidak bisa menyelesaikan tugas ini, banyak wartawan lain yang menunggu untuk mengambil kursimu. Zaman sekarang, idealis yang tidak produktif tidak akan bertahan lama."
***
Aku melangkah keluar ruangan dengan perasaan hampa total, seperti zombie yang berjalan tanpa jiwa. Pandanganku kabur, dunia sekeliling terasa berputar pelan. Ruang redaksi yang biasanya jadi arena penuh energi dan gairah, kini terasa seperti labirin yang menyesakkan napas.
Andra menghampiriku dengan langkah tergesa, membawa dua cangkir kopi hitam yang masih mengepul. Wajah sahabat sekaligus mentorku itu penuh kekhawatiran.
"Aku lihat raut wajahmu. Dia menekammu lagi, ya? Sampai segitunya?"
Aku mengangguk lemah sambil menerima cangkir kopi dengan tangan gemetar.
"Dia mau artikel selesai besok pagi. Dengan angle yang sudah jelas: malpraktik tanpa tedeng aling-aling."