Dokter Biang Dilema Jurnalis

Yuisurma
Chapter #3

Bayang-bayang Skandal

Hujan semalam meninggalkan jejak di setiap sudut Kota Bandung di pagi ini. Genangan kecil di trotoar, daun-daun basah yang menempel di kaca mobil, dan aroma tanah yang lembap bercampur dengan bau aspal yang baru dicuci. Aku berdiri di depan gerbang Rumah Sakit Bugar Raga, menghirup udara pagi yang segar sekaligus menyesakkan dada.

Gedung putih berlantai enam itu menjulang dengan angkuhnya, seolah menantang siapa saja yang berani menggugat kredibilitasnya. Di mataku, bangunan itu tak lagi tampak sebagai tempat penyembuhan, melainkan sebuah teka-teki raksasa yang menunggu untuk kubongkar. Setiap jendela yang berkilau di bawah sinar matahari pagi seolah menyimpan rahasia yang tak ingin diketahui publik.

Langkah kakiku terasa berat saat menapaki lantai marmer lobi. Suara gemericik air mancur kecil di sudut ruangan berpadu dengan suara mesin lift yang berdenting setiap beberapa detik. Seorang cleaning service sedang mengepel lantai dengan gerakan mekanis, sementara perawat-perawat berlalu-lalang dengan ekspresi lelah yang sudah menjadi bagian dari seragam mereka.

Mataku tertuju pada spanduk besar yang terpampang di dinding utama: "Keselamatan Pasien Adalah Prioritas Kami." Huruf-huruf berwarna biru tua itu terlihat begitu yakin, begitu pasti, hingga membuatku merasa seperti orang yang akan menghancurkan keyakinan ribuan orang. Ada ironi yang menyakitkan dalam kalimat itu. Sebuah janji yang mungkin akan kubongkar dalam artikel yang akan mengguncang reputasi rumah sakit ini.

"Selamat pagi, bisa dibantu?" Suara resepsionis memecah lamunanku.

Aku menunjukkan kartu press dengan sedikit ragu. "Saya dari Suara Kota. Bisa bertemu dengan dokter Rama?"

Wajah resepsionis berubah. Ada keraguan yang kentara, sebuah tatapan yang mengatakan bahwa kehadiran wartawan di sini bukanlah kabar baik. Setelah beberapa panggilan telepon singkat, aku akhirnya dibimbing melalui koridor panjang menuju ruang direktur.

dr.Rama menyambutku dengan senyum yang familiar, tapi tidak bisa menyembunyikan kelelahan di matanya. Pria yang dulu menolongku di kecelakaan itu kini tampak lebih tua, dengan kerutan halus di sekitar mata dan rambut yang mulai menipis. Hanya saja kehangatannya masih sama, meski kali ini kurasakan ada jarak yang tak terlihat di antara kami.

"Rani..." suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Saya sudah dengar kabar dari kantor berita. Ini pasti berat untukmu."

Kata-kata itu menohok tepat ke jantungku. Bagaimana bisa kujelaskan bahwa tugasku adalah menulis artikel yang mungkin akan menghancurkan karir pria yang pernah menyelamatkan hidupku?

"Pak Rama, saya... saya hanya ingin memastikan kebenaran. Bukan untuk menyudutkan siapa pun." Suaraku terdengar tidak yakin, bahkan di telingaku sendiri.

dr. Rama mengangguk dengan ekspresi yang sulit kubaca.

"Silakan periksa semua yang perlu kamu periksa. Catatan medis, protokol, apa saja. Tapi tolong, jangan ambil kesimpulan sebelum mendengar semua pihak."

Ada getaran dalam suaranya yang membuatku menyadari betapa beratnya posisi dr. Rama. Seorang dokter yang mungkin sedang berjuang mempertahankan integritasnya, di tengah badai yang tidak diciptakannya sendiri.

***

Koridor rumah sakit di lantai dasar terasa berbeda dari yang kubayangkan. Bukannya tenang dan steril seperti yang sering digambarkan di film-film, tempat ini justru penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan nyata. Keluarga pasien duduk berkelompok di kursi plastik biru, ada yang berbisik-bisik dengan wajah cemas, ada yang tertidur dalam posisi yang tidak nyaman setelah begadang menjaga orang terkasih.

Aku melihat seorang nenek yang sedang menyuapi cucunya yang tangan kirinya dibalut perban. Pria paruh baya dengan kemeja lusuh menelepon sambil mondar-mandir, suaranya terdengar putus asa saat membicarakan biaya pengobatan. Sebuah keluarga muda sedang menunggu di depan ruang ICU dengan wajah yang sudah tidak lagi mengharapkan mukjizat, hanya bersiap menerima kenyataan.

Ini adalah kehidupan nyata, bukan sekedar statistik atau bahan berita. Setiap orang di sini memiliki cerita, harapan, dan ketakutan yang sangat manusiawi. Bagaimana bisa kutulis artikel yang bisa menghancurkan tempat terakhir harapan mereka?

Bu Lina, perawat senior yang sudah bekerja di sini selama lima belas tahun, menemuiku di ruang perawat kecil yang penuh dengan map berkas. Wajah wanita berusia empat puluhan itu terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah mata yang menceritakan tentang shift malam yang berkali-kali dijalani.

"Nona Rani, kami benar-benar sudah melakukan semua sesuai prosedur," katanya sambil menunjukkan tumpukan dokumen. Tangannya sedikit gemetar, entah karena kelelahan atau ketakutan akan konsekuensi dari wawancara ini. "Tidak ada satu pun langkah yang kami lewatkan. Semua tercatat dengan jelas."

Bu Lina menjelaskan dengan detail tentang protokol penanganan bayi baru lahir, sistem monitoring yang digunakan, dan bagaimana mereka bekerja sama dengan dokter anak. Ada kebanggaan profesional dalam suaranya ketika menjelaskan dedikasi tim medis, namun juga ada kecemasan yang tak bisa disembunyikan.

"Tapi..." dia menghentikan kata-katanya, melirik ke kiri dan kanan seolah memastikan tidak ada yang mendengar. "Kadang tekanan dari manajemen rumah sakit dan tuntutan dari keluarga pasien membuat kami berada di posisi yang sulit. Kami ingin memberikan pelayanan terbaik, tapi kadang keadaan tidak memungkinkan."

Aku mencatat setiap kata, merasakan dilema yang semakin dalam. Fakta di lapangan jauh lebih kompleks dari narasi sederhana yang diminta Surya. Ada nuansa abu-abu di mana-mana, tidak ada hitam putih yang jelas.

Lihat selengkapnya