Dokter Biang Dilema Jurnalis

Yuisurma
Chapter #4

Titik Balik Moral

Pagi itu Jakarta berselimut kabut tipis yang enggan pergi. Dari balkon apartemen lantai sepuluh, aku bisa melihat kota yang perlahan bergerak. Angin sejuk menerpa wajahku, membawa aroma hujan semalam yang masih menempel di aspal.

Tapi semua pemandangan itu terasa jauh. Pikiranku terjebak di ruang redaksi kemarin, di tatapan tajam Surya, dan terutama di draft artikel yang masih kosong di laptopku. Sudah tiga kali aku mencoba menulis, tiga kali pula aku menghapusnya. Bagaimana mungkin aku bisa menulis sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraniku?

Kopi di cangkir keramik putihku sudah mendingin. Pahit, seperti rasa di mulutku setiap kali mengingat perintah Surya. "Buat berita yang menggemparkan tentang malpraktik di Bugar Raga," katanya kemarin dengan nada yang tidak menolerir bantahan. "Publik butuh skandal, Ran. Mereka bosan dengan berita biasa-biasa saja."

Aku menghela napas panjang. Mataku menerawang ke langit yang masih kelabu, seperti mood-ku pagi ini. Di rumah sakit yang sama seorang dokter pernah tersenyum padaku sembari berkata, "Semuanya akan baik-baik saja." Kata-katanya masih terpatri di ingatanku kendati sepuluh tahun berlalu.

Dan sekarang aku diminta untuk menghancurkan reputasinya, orang yang pernah menjadi malaikat bagiku.

***

Redaksi pagi itu terasa berbeda. Biasanya hiruk pikuk diskusi editorial mengisi ruangan, tapi kali ini ada ketegangan yang bisa kurasakan. Beberapa rekan kerja melirikku dengan tatapan penasaran. Mereka tahu ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi tak ada yang berani bertanya langsung.

Surya sudah menunggu di mejanya, mengenakan kemeja biru gelap yang selalu dia pakai saat berburu berita besar. Wajahnya keras, seperti batu granit yang sudah lama terkena cuaca. Matanya yang kecil tapi tajam langsung menincarku begitu aku masuk.

"Rani," suaranya memotong keheningan pagi. "Artikelmu mana? Deadline siang ini."

Aku menarik kursi, duduk dengan hati-hati. "Pak, saya masih dalam tahap verifikasi. Saya ingin memastikan semua fakta benar sebelum—"

"Verifikasi?" Surya menepuk meja cukup keras sampai beberapa kepala menoleh. "Ini bukan tugas akhir kuliah, Ran! Ini dunia jurnalistik nyata. Kecepatan dan sensasi—itulah yang publik mau."

Andra, yang duduk di meja sebelah, diam-diam memberi isyarat agar aku sabar. Tapi sabar untuk apa? Untuk menghancurkan hidup orang yang baik?

"Pak, menurut hasil wawancara awal saya, tidak ada indikasi malpraktik yang jelas. Para keluarga pasien justru memberikan testimoni positif—"

"Testimoni positif tidak menjual koran!" Surya berdiri, tinggi badannya yang hampir 180 cm membuat ruangan terasa menyempit bagiku. "Kita bukan LSM, Ran. Kita media massa yang butuh rating dan oplah. Caranya? Berita yang mengejutkan, kontroversial, bikin orang penasaran."

Di sudut mata, aku melihat beberapa wartawan senior mengangguk-angguk setuju. Mereka yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia media, yang mungkin sudah kehilangan idealisme seperti yang perlahan-lahan menghilang dari diriku.

***

Jam makan siang, Andra mengajakku ke warung padang dekat kantor. Tempatnya sederhana, dengan meja plastik dan kursi yang sudah agak lusuh. Tapi makanannya enak, dan yang penting, sepi—cocok untuk berbicara tanpa takut didengar orang lain.

"Kamu tahu kan, Ran, kalau menolak Surya sama dengan bunuh diri profesional?" Andra mengaduk-aduk nasinya tanpa nafsu makan. "Dia punya koneksi di mana-mana. Sekali dia blacklist kamu, susah cari kerja di media lain."

Aku memainkan rendang di piringku. Dagingnya lembut, tapi tenggorokanku terasa kering. "Aku tahu, Mas. Tapi gimana aku bisa tidur nyenyak kalau menulis artikel yang bisa menghancurkan hidup orang yang pernah menolongku?"

"dr.Rama itu dokter yang kuat, Ran. Kalau dia memang bersih, pasti bisa membela diri." Andra mencoba menenangkan, meski nadanya tidak terlalu yakin.

"Tapi damage-nya sudah terlanjur. Begitu berita keluar, reputasinya hancur. Pasien akan takut berobat ke dia, karier medisnya bisa berakhir." Aku meletakkan sendokku. "Dan aku yang jadi penyebabnya."

Andra terdiam. Aku tahu dia mengerti bahwa aku benar. Di era media sosial ini, sekali reputasi rusak, butuh bertahun-tahun untuk memulihkannya, itu pun kalau bisa dipulihkan.

***

Sore harinya, aku memutuskan turun langsung ke lapangan. Rumah Sakit Bugar Raga terlihat normal seperti biasany, antrian pasien di lobi, ambulans keluar masuk, perawat berlalu lalang dengan tergesa. Tidak ada tanda-tanda institusi yang sedang dilanda skandal.

Aku mewawancarai Bu Sari, ibu muda yang anaknya pernah dirawat di bangsal neonatal tempat Rama bertugas. Wanita berusia tiga puluhan itu menerimaku di rumah kontrakannya yang sederhana di daerah Cengkareng.

"Anak saya lahir prematur, cuma 1,8 kilogram," cerita Bu Sari sambil menggendong balita yang sudah sehat dan lincah. "Dokter Rama yang menangani. Beliau sabar banget jelasin kondisi bayi saya. Setiap hari visit, ngecek perkembangan. Bahkan pas lagi shift malam, beliau masih sempat mampir."

Lihat selengkapnya