Jakarta selalu punya caranya sendiri untuk membuatku merasa kecil. Kali ini, aku berdiri di trotoar depan gedung redaksi, menatap langit kelabu yang bergelayut rendah seolah ikut merasakan beban yang menggantung di dadaku. Hiruk-pikuk yang biasanya membuatku bersemangat kini terasa menyesakkan.
Di genggamanku, sebuah amplop coklat terasa begitu berat meski hanya berisi beberapa lembar kertas. Instruksi terakhir Surya tertulis jelas di sana: artikel tentang dugaan malpraktik di Rumah Sakit Bugar Raga harus tayang hari ini, dengan angle yang keras dan menuduh. Yang diminta bukan sekadar laporan investigatif, melainkan eksekusi publik terhadap reputasi seseorang, dan orang itu adalah dr. Rama.
Masuk ke dalam ruang redaksi di pagi ini, aku merasakan suasana sedikit berbeda. Biasanya, Senin pagi dimulai dengan candaan ringan antar rekan kerja sambil menyeruput kopi. Kali ini, atmosfer tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Surya berdiri di ujung, tubuhnya tegap seperti komandan yang siap memberikan perintah perang.
"Rani!" panggil Surya. Nada suaranya membuatku merasakan keringat dingin mengalir di punggung, padahal AC ruangan menyala kencang. Beberapa kepala menoleh ke arahku.
"Artikelnya masih belum layak tayang, saya masih butuh verifikasi, Pak," jawabku, melontar dalih yang sama seperti kemarin.
Surya melangkah mendekat, sepatu kulit hitamnya berderak di lantai keramik. Aku bisa mencium aroma cologne-nya yang menyengat.
“Publik sudah menunggu, Rani,” timpal Surya. Suaranya terdengar merendah, tapi justru itu yang membuatnya terdengar lebih mengancam. Beberapa rekan kerja mulai pura-pura sibuk dengan layar komputer mereka, tidak ingin terseret dalam ketegangan ini. Aku paham sekali perasaan mereka, siapa yang mau berurusan dengan amarah Surya?
"Mereka berhak tahu jika ada oknum dokter yang main-main dengan nyawa pasien. Kamu paham konsekuensinya kalau artikel ini tidak jadi, kan?" lanjutnya.
Konsekuensi. Kata itu bergema di kepalaku seperti lonceng kematian. Dalam industri media yang penuh persaingan ini, tidak menuruti perintah atasan sama dengan menggali lubang kubur sendiri. Tapi menulis artikel yang memfitnah dr. Rama? Itu sama saja dengan mengubur nuraniku.
Setelah Surya pergi, Andra, reporter senior yang mejanya bersebelahan denganku, memberikan tatapan simpati. Lelaki paruh baya itu sudah cukup lama berkecimpung di dunia jurnalistik untuk memahami dilema yang sedang kuhadapi.
"Ran," bisiknya, "kadang-kadang dalam hidup ini, kita harus memilih antara bertahan hidup atau mempertahankan idealisme. Dan sayangnya, idealis yang mati kelaparan tidak bisa menyelamatkan siapa-siapa."
***
Aku memutuskan turun langsung ke lapangan. Bukan untuk mencari materi yang mendukung narasi Surya, melainkan untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Aku mengunjungi beberapa keluarga yang pernah menjadi pasien di Rumah Sakit Bugar Raga, khususnya mereka yang berurusan dengan kasus bayi prematur. Salah satunya Bu Sari yang kebetulan beralamat di Jakarta.
Rumah Bu Sari di daerah Cakung terlihat sederhana tapi terawat. Halaman sempit dengan tanaman hias dalam pot-pot plastik bekas, terali jendela yang sudah berkarat, dan suara televisi yang mengalun dari dalam. Ketika aku menjelaskan maksud kedatanganku, wajahnya berubah waspada.
"Wartawan lagi," gumamnya sambil mempersilakanku masuk. "Sudah banyak yang datang belakangan ini, semua nanya soal rumah sakit di Bandung itu."
Ruang tamu yang sempit dipenuhi foto-foto keluarga. Di antaranya, ada foto seorang bayi mungil di inkubator. Bu Sari mengikuti arah pandangku.
"Itu Dodo, anak saya. Lahir prematur enam bulan yang lalu, cuma 1,2 kilogram beratnya," ujarnya sambil mengambil foto itu dengan tangan yang gemetar. "Dokter bilang kemungkinan hidupnya tipis. Tapi lihat sekarang, dia sudah gemuk dan sehat."
Suaranya bergetar saat menceritakan, bagaimana tim medis di Rumah Sakit Bugar Raga berjuang siang malam untuk menyelamatkan anaknya. Aku merasakan dadaku sesak mendengar ceritanya.
"Dokter Rama itu dokter yang baik, Mbak. Dia sering menjelaskan kondisi anak saya dengan sabar, bahkan kadang jam makan siang dia korbankan untuk ngobrol dengan saya. Masa dokter kayak gitu dibilang salah?"
Aku mencatat setiap kata, perasaanku campur aduk. Fakta yang kutemukan justru bertentangan total dengan narasi yang diminta Surya. Ini bukan hanya soal profesionalisme jurnalistik lagi, tapi tentang memilih antara kebenaran dan kepentingan.
Saat wawancara berlangsung, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk: "Hentikan sekarang, atau kau akan menyesal. Ada mata yang selalu mengawasi."
Jemariku bergetar saat membaca pesan itu. Ancaman ini semakin nyata, semakin mengintimidasi. Tapi anehnya, bukannya surut, semangatku justru semakin berkobar. Kalau memang ada pihak yang takut dengan investigasiku, berarti aku sedang berada di jalur yang benar.