Langit Jakarta di penghujung tahun 2048 membentang jernih, pemandangan yang jarang ditemui. Seolah semesta turut menarik napas lega setelah serangkaian prahara menerpa bahtera kepemimpinan Presiden Nisa Farha. Empat tahun telah berlalu pelan sejak palu keadilan diketuk di Gedung Parlemen, mengesahkan Undang-undang Kesiapan Berkeluarga—sebuah produk legislasi monumental yang lahir dari bara keprihatinan Nisa atas kerapuhan fondasi keluarga Indonesia. Empat tahun yang terasa laksana satu dekade penuh gejolak. Selama masa itu, ia dan Reza Satria, suaminya, tidak hanya memimpin sebuah bangsa yang majemuk, tetapi juga bertarung hebat mempertahankan integritas pribadi, visi kebijakan, bahkan keutuhan pernikahan mereka sendiri dari serangan bertubi-tubi.
Kini, di balkon paviliun Istana yang teduh, Nisa Farha menatap cakrawala senja. Tempat itu telah menjadi saksi bisu begitu banyak tawa, air mata, diskusi strategis hingga larut malam, serta momen-momen keintiman yang memulihkan. Garis-garis halus di sekitar matanya mungkin sedikit lebih nyata; beberapa helai uban perak kini menghiasi rambut hitam legamnya. Itu adalah peta perjalanan seorang pemimpin yang tidak pernah gentar menghadapi badai, jejak waktu, dan beban tanggung jawab yang tak terelakkan. Namun, sorot matanya memancarkan ketenangan dan kedalaman yang berbeda, sebuah kebijaksanaan yang lahir dari tempaan ujian. Api semangatnya masih menyala, tetapi kini lebih stabil. Cahayanya lebih terarah, tidak lagi mudah tersulut oleh provokasi murahan atau terombang-ambing oleh riak politik sesaat.
Reza menghampirinya dari dalam, membawa dua cangkir teh melati hangat tanpa gula—ritual sore mereka yang tak pernah terlewatkan, sebuah sauh kecil di tengah lautan kesibukan yang tak bertepi. Ia merangkul bahu Nisa dengan erat, dagunya bertumpu lembut di puncak kepala istrinya. Uban perak di pelipisnya juga bertambah, tetapi senyumnya kini lebih sering tersungging tulus, lebih cepat kembali setelah menghadapi riak-riak kecil serangan media atau sindiran politik yang sesekali masih muncul. Prinsip “let them be” yang dulu coba Nisa ajarkan padanya, kini telah mendarah daging dalam dirinya, memberinya kekuatan untuk memilih pertempuran dengan bijak.
"Dua puluh tiga tahun pernikahan kita minggu depan, Sa," bisik Reza pelan, memecah keheningan damai itu. "Dan hampir lima tahun penuh kau memimpin negeri ini. Rasanya… seperti baru kemarin kita berdiri di sini, di awal masa jabatan pertama, penuh mimpi besar dan… mungkin sedikit terlalu naif tentang betapa kejamnya dunia politik ini."
Nisa tersenyum kecil, mengangkat kepalanya sedikit untuk menatap wajah suaminya. "Ya," jawabnya lirih. "Kita sudah melewati begitu banyak hal bersama, Za. Jauh lebih banyak gejolak emosi daripada yang pernah kubayangkan." Ia menghela napas panjang, napas lega, bukan lagi kelelahan atau keputusasaan yang dulu pernah begitu menghimpit. "Badai politik yang tak berkesudahan, tsunami fitnah yang nyaris menenggelamkan kita, petir kontroversi dari setiap kebijakan baru, bahkan bisikan-bisikan beracun dari ular berbisa di lorong Istana ini sendiri." Ia merujuk dalam hati pada Rahmat Iskandar, sosok yang pengkhianatannya hampir merusak komunikasi dan kepercayaan mereka, yang kini hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah internal Istana mereka.
Perjalanan mereka memang tak ubahnya sebuah epik modern. Undang-Undang Kesiapan Berkeluarga, meski implementasinya masih terus membutuhkan pengawalan ketat, telah mulai menunjukkan buahnya. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan angka perceraian dini sebesar 18% pada pasangan yang menikah pasca-undang-undang berlaku. Usia menikah rata-rata nasional naik 1,5 tahun, dan angka partisipasi kasar perempuan di perguruan tinggi meningkat 12%, memberi ruang lebih bagi perempuan muda untuk mengejar pendidikan dan kemandirian sebelum memasuki gerbang pernikahan. Laporan Komnas Perempuan mencatat penurunan 22% dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baru pada pasangan muda. Bahkan survei opini publik menunjukkan 55% masyarakat kini setuju akan pentingnya kesiapan mental, emosional, dan finansial sebelum menikah—sebuah pergeseran norma sosial yang signifikan. "Ini bukan hanya angka, Mas," Nisa pernah berkata pada Reza sambil menatap laporan itu, "Ini cerita tentang harapan yang terwujud, masa depan yang lebih baik bagi jutaan keluarga."
Lalu ada Gerakan Nasional "Percikan Berani, Jaga Nilai", sebuah inisiatif yang lahir dari keprihatinan Nisa akan 'defisit kepercayaan diri' dan 'mentalitas minder' yang mengunci potensi kreatif bangsa. Perjalanannya pun tak kalah terjal. Skandal plagiarisme Andi Saputra dan kontroversi lirik Bima, sang musisi jalanan, sempat mengguncang fondasi gerakan itu, memicu serangan politik dari Pak Hardiman dan bisikan keraguan dari internal koalisi. Namun, dengan adaptasi strategi, pengetatan pilar "Jaga Nilai", dan kisah-kisah ketahanan dari kreator seperti Maya, sang ilustrator yang karyanya menembus kompetisi internasional; Ibu Santi, sang pengusaha kue lapis yang bangkit dari trauma perundungan siber; dan bahkan Bima sendiri yang mulai menemukan suara otentiknya yang lebih matang, gerakan itu perlahan menemukan ritmenya. Platform Panggung Berani Digital 2.0 yang lebih aman dan interaktif telah diluncurkan, menjadi bukti evolusi pahit namun perlu.
Dan yang paling monumental, tentu saja, adalah reformasi hukum dan peradilan. Dipicu oleh kasus tragis Siti Rahayu di Sulawesi dan Dito Nugraha di Kalimantan—dua anak manusia yang menjadi korban bobroknya sistem—Nisa mengambil pertaruhan politik terbesar dengan mencalonkan Ratna Dewi, mantan Direktur Penyidikan KPK yang dikenal berintegritas baja, sebagai Jaksa Agung. Pencalonan itu memicu gempa politik, intimidasi, dan perang urat saraf yang brutal. Namun, dengan dukungan penuh Nisa, operasi senyap Satgas Saber Peradilan yang berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Hakim Tinggi AS, dan ketangguhan Ratna Dewi sendiri dalam uji kelayakan di Komisi III DPR, reformasi itu akhirnya berjalan. Tiga tahun kemudian, di awal 2051, hasilnya mulai terlihat: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia melonjak signifikan, tunggakan perkara di Mahkamah Agung terpangkas, dan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum perlahan pulih. Puncaknya, Nisa diundang sebagai pembicara utama dalam Konferensi Global Antikorupsi PBB di Wina, sebuah pengakuan dunia atas keberhasilan Indonesia.
"Melihat data-data itu, memang membanggakan," ujar Reza, membelai lembut rambut Nisa. "Perubahan fundamental seperti ini memang butuh waktu, butuh kesabaran revolusioner."
Nisa mengangguk. "Pekerjaan rumahnya masih sangat panjang, Za. Mengubah pola pikir yang sudah mengakar, melawan resistansi kultural, memastikan anggaran tidak diselewengkan. Kadang aku merasa kemajuannya lambat sekali."
"Tapi ada kemajuan, kan?" Reza menguatkan. "Dan kau tidak pernah berhenti mencoba, tidak pernah menyerah pada visi awalmu, meskipun badai datang silih berganti."
Mereka terdiam, menikmati kebersamaan dalam keheningan senja. Frekuensi harmoni baru dalam hubungan mereka terasa begitu nyata. Komunikasi yang lebih jujur akan kerapuhan masing-masing. Batas-batas baru yang melindungi ruang aman mereka. Tawa yang kembali sering terdengar. Keintiman fisik yang lebih tenang, lebih dalam, namun tak kalah kuatnya. Mereka telah belajar lagi bahwa keterbukaan dan kejujuran harus terus diuji dan diperbarui; bahwa menjadi pasangan sejati adalah saling menjadi jangkar di saat badai, saling mengingatkan, saling menguatkan, dan saling memaafkan.