Pertengahan tahun 2049. Langit Jakarta masih sama sibuknya, namun di dalam paviliun pribadi Istana, Nisa Farha dan Reza Satria tengah berada di persimpangan jalan yang jauh lebih fundamental daripada sekadar tikungan politik atau putaran kebijakan. Visi "Pasangan Dokter Cinta Dunia" yang telah mereka rumuskan bersama kini menuntut sebuah keputusan konkret, sebuah langkah nyata yang akan mengubah arah hidup mereka secara drastis.
Masa jabatan pertama Nisa sebagai Presiden Republik Indonesia akan segera berakhir dalam beberapa bulan. Pertanyaan tentang apakah ia akan maju untuk periode kedua menggantung di udara, menjadi spekulasi hangat di media dan perbincangan di kalangan elite politik. Namun, di hati Nisa, sebuah panggilan lain, panggilan yang lebih universal, terasa semakin nyaring.
"Aku sudah memikirkannya matang-matang, Mas," ujar Nisa suatu sore, saat mereka duduk di teras paviliun, ditemani semilir angin dan aroma bunga melati yang baru mekar. Di tangannya, tergenggam sebuah draf pidato, bukan pidato kenegaraan, melainkan sesuatu yang terasa lebih personal, lebih universal. "Aku tidak akan maju untuk periode kedua."
Reza menatapnya, ada campuran antara kelegaan dan antisipasi di matanya. Ia tahu betapa berat beban kepresidenan bagi Nisa, meskipun istrinya itu selalu menjalankannya dengan dedikasi penuh. "Kau yakin, Sa? Banyak yang masih mengharapkanmu. Reformasi hukum yang baru kita mulai ini masih butuh pengawalanmu."
Nisa tersenyum lembut. "Reformasi hukum akan terus berjalan. Ratna Dewi adalah sosok yang tepat, dan sistem yang kita bangun, insyaallah, cukup kuat untuk menahan intervensi. Tapi panggilanku sekarang… rasanya berbeda. Lebih luas." Ia meletakkan draf pidato itu di atas meja. "Ini adalah saatnya. Saatnya kita benar-benar mendedikasikan diri pada visi 'Pasangan Dokter Cinta Dunia' itu. Jika tidak sekarang, kapan lagi?"
Keputusan itu tidak diambil dengan mudah. Nisa telah melalui malam-malam panjang perenungan, menimbang amanah rakyat Indonesia yang masih begitu besar harapannya, dan panggilan jiwa yang kini menariknya ke cakrawala yang berbeda. Ia berdiskusi intens dengan Reza, menimbang setiap aspek. Mereka sadar, meninggalkan panggung politik nasional di puncak popularitas dan pengakuan internasional atas keberhasilan reformasi hukum adalah sebuah pertaruhan besar. Namun, keyakinan bahwa masalah "keterpaksaan cinta" dan "kerapuhan hubungan" adalah krisis kemanusiaan global yang membutuhkan respons segera, terasa jauh lebih mendesak.
"Aku akan mendukungmu sepenuhnya, apa pun keputusanmu, kau tahu itu," kata Reza, menggenggam tangan Nisa. "Jika ini yang kau rasakan sebagai panggilan jiwamu, maka ini juga akan menjadi panggilan jiwaku. Kita akan menghadapinya bersama, seperti biasa."
Dengan keputusan Nisa untuk tidak melanjutkan ke periode kedua kepresidenan, jalan bagi misi baru mereka terasa lebih terbuka. Mereka mulai merencanakan pengumuman publik pertama mengenai inisiatif global ini. Bukan lagi sebagai Presiden dan Ibu Negara (atau Bapak Negara, jika mengacu pada peran Reza yang suportif), melainkan sebagai Nisa Farha dan Reza Satria, dua individu, sepasang suami-istri, yang menawarkan diri sebagai fasilitator penyembuhan dan pencerahan bagi dunia.
Mereka memutuskan bahwa pengumuman ini harus dilakukan secara independen, di luar kerangka Istana atau formalitas kenegaraan, untuk menegaskan sifat universal dan non-politis dari gerakan mereka. Sebuah konferensi pers internasional dipilih sebagai medium, yang akan disiarkan secara langsung melalui berbagai platform digital untuk menjangkau khalayak seluas mungkin. Angel Marina, yang telah menjadi tangan kanan Nisa selama masa kepresidenannya dan memahami visi baru ini dengan sangat baik, diminta untuk membantu mengoordinasikan aspek komunikasi dan logistik acara tersebut secara personal, di luar kapasitas resminya sebagai Kepala Komunikasi Istana. Anton Prasetya juga dilibatkan untuk membantu merumuskan poin-poin substansi dan data pendukung yang akan disampaikan.
Draf pidato pengumuman itu mereka susun bersama, kata demi kata, merefleksikan kedalaman visi dan ketulusan niat mereka. Nisa ingin pidato itu menyentuh, menggugah, namun juga menawarkan harapan dan solusi konkret. Ia akan berbicara tentang pengalamannya sebagai pemimpin yang menyaksikan langsung kerapuhan fondasi keluarga dan dampaknya pada bangsa. Ia akan berbagi refleksinya sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu. Dan ia akan memaparkan tiga pilar utama gerakan mereka: Merdeka Raga, Merdeka Jiwa, dan Merdeka Ilmu Pengetahuan. Sementara itu, Reza akan melengkapi dengan perspektifnya sebagai seorang suami, seorang laki-laki yang juga belajar dan bertumbuh dalam memahami hakikat cinta dan komitmen. Ia akan menekankan pentingnya peran laki-laki dalam membangun hubungan yang setara dan memerdekakan, serta bagaimana keintiman yang sehat dan spiritual bisa menjadi sumber kekuatan bagi pasangan.
Tanggal pengumuman ditetapkan: awal November 2049, beberapa minggu setelah Nisa secara resmi menyampaikan pidato perpisahannya sebagai Presiden dan menyerahkan estafet kepemimpinan kepada penggantinya yang terpilih melalui pemilu yang demokratis. Ini memberikan jeda waktu yang cukup bagi publik untuk memproses transisi kepemimpinan nasional, sebelum Nisa dan Reza melangkah ke panggung baru mereka.
Aula sebuah hotel internasional di Jakarta, yang telah disewa secara pribadi oleh Nisa dan Reza, dipenuhi oleh perwakilan media dari berbagai penjuru dunia. Ada jurnalis dari kantor berita global, koresponden media-media ternama dari Asia, Eropa, Amerika, Afrika, hingga Australia. Ada juga influencer media sosial dengan jutaan pengikut yang fokus pada isu-isu kemanusiaan, pemberdayaan perempuan, dan kesehatan mental. Suasana terasa penuh antisipasi. Banyak yang bertanya-tanya, apa langkah Nisa Farha selanjutnya setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden? Ke mana energi dan visinya yang besar itu akan diarahkan?