Dokter Cinta Dunia

Shabrina Farha Nisa
Chapter #4

Kisah-kisah Pertama Pembebasan

Beberapa bulan setelah pengumuman yang menggema dari aula hotel di Jakarta itu, Yayasan Cinta Merdeka Global (YCMG) mulai menggeliat. Di bawah kepemimpinan Nisa Farha dan Reza Satria, yang kini secara resmi menanggalkan atribut-atribut kekuasaan formal namun justru memikul tanggung jawab moral yang lebih universal, fondasi gerakan itu mulai dibangun bata demi bata. Kantor pusat sementara mereka bukanlah gedung pencakar langit yang mewah, melainkan sebuah rumah tua nan asri di kawasan Menteng yang disulap menjadi ruang kerja kolaboratif, dipenuhi energi muda dari tim inti yang baru terbentuk dan semangat idealisme yang meluap.

Angel Marina, dengan keahlian komunikasinya, sibuk membangun jejaring dengan media-media internasional yang progresif dan platform-platform digital yang memiliki jangkauan global. Ia merancang strategi narasi yang cermat, memastikan pesan "Cinta Merdeka" tersampaikan dengan bahasa yang relevan secara budaya namun tetap mempertahankan esensi universalnya. Sementara itu, Anton Prasetya, bersama tim riset kecilnya yang terdiri dari akademisi muda dari berbagai disiplin ilmu, tengah merampungkan desain akhir "Indeks Kemerdekaan Cinta" global—sebuah alat ukur ambisius yang diharapkan bisa memetakan secara komprehensif kondisi hubungan dan tantangan yang dihadapi manusia di berbagai belahan dunia.

Reza sendiri, selain mengawal aspek manajerial dan finansial yayasan, juga aktif menjalin kontak dengan para filantropis global, yayasan-yayasan internasional, dan bahkan beberapa perusahaan multinasional yang memiliki divisi CSR dengan fokus pada pemberdayaan perempuan, kesehatan mental, atau pendidikan. Ia terkejut sekaligus terharu mendapati betapa banyak pihak yang ternyata memiliki keprihatinan serupa dan menyambut positif visi YCMG, menawarkan berbagai bentuk kemitraan dan dukungan.

Namun, Nisa tahu, denyut nadi sesungguhnya dari gerakan ini bukanlah terletak pada proposal-proposal kerja sama yang canggih atau siaran pers yang bombastis. Denyut itu ada pada cerita-cerita manusia, pada suara-suara individu yang selama ini mungkin terbungkam atau tak terdengar. Oleh karena itu, salah satu program perdana yang mereka luncurkan adalah platform digital interaktif "Suara Cinta Merdeka". Ini bukan sekadar situs web informatif, melainkan sebuah ruang aman daring tempat orang-orang dari seluruh dunia bisa berbagi kisah mereka secara anonim (jika menginginkan), bertanya, mencari dukungan, dan terhubung dengan konselor atau fasilitator "Cinta Merdeka" yang telah mulai direkrut dan dilatih secara daring oleh tim YCMG.

Respons awal terhadap platform "Suara Cinta Merdeka" sungguh di luar dugaan. Dalam beberapa minggu pertama peluncurannya, ribuan cerita mengalir masuk. Cerita-cerita itu datang dari berbagai bahasa, berbagai budaya, berbagai latar belakang usia dan status sosial, namun menyuarakan kerinduan yang sama: kerinduan akan cinta yang membebaskan, hubungan yang menyembuhkan, dan pengetahuan yang mencerahkan.

Salah satu cerita pertama yang begitu menyentuh hati Nisa datang dari seorang perempuan muda bernama Aisha, dari sebuah desa kecil di wilayah Punjab, Pakistan. Aisha, dalam tulisannya yang penuh kepasrahan namun juga terselip sebersit harapan, menceritakan bagaimana ia sejak usia 15 tahun telah dijodohkan dengan sepupunya sendiri oleh tetua keluarga. Pernikahan itu, yang baru akan dilangsungkan beberapa bulan lagi saat usianya genap 18 tahun, terasa seperti hukuman mati baginya. Ia memiliki mimpi untuk melanjutkan sekolah, menjadi perawat, dan mengabdi pada komunitasnya. Namun, suara dan mimpinya seolah tak berharga di hadapan tradisi dan kehendak keluarga besar. Ia mendengar tentang gerakan "Cinta Merdeka" dari sebuah siaran radio internasional yang kebetulan didengarkan oleh kakaknya yang bekerja di kota.

"Saya tidak tahu apakah surat ini akan sampai atau dibaca," tulis Aisha dengan bahasa Urdu yang kemudian diterjemahkan oleh relawan YCMG. "Tapi saya hanya ingin mengatakan, mendengar ada orang-orang di luar sana yang berjuang agar kami, para perempuan, memiliki hak untuk memilih jalan hidup kami sendiri, memberi saya sedikit kekuatan. Apakah ada harapan bagi saya? Apakah ada cara untuk menolak perjodohan ini tanpa harus dianggap sebagai anak durhaka atau mencoreng nama baik keluarga?"

Nisa membaca surat Aisha dengan mata berkaca-kaca. Kisah ini begitu mirip dengan kasus Siti Rahayu yang pernah ia tangani di Indonesia, sebuah pengingat betapa universalnya belenggu tradisi yang seringkali mengorbankan kebahagiaan individu atas nama kehormatan kolektif. Tim YCMG, melalui fasilitator lokal yang berhasil mereka hubungi di Pakistan, segera mencoba menjalin kontak rahasia dengan Aisha, menawarkan dukungan emosional, informasi mengenai hak-haknya menurut hukum Pakistan (yang ternyata juga memiliki celah untuk menolak pernikahan paksa meskipun implementasinya sulit), dan menghubungkannya dengan sebuah LSM perempuan lokal yang bisa memberikan pendampingan lebih lanjut. Perjalanannya masih akan sangat panjang dan penuh risiko, tetapi setidaknya, Aisha kini tahu ia tidak sendirian.

Cerita lain datang dari seorang pria paruh baya bernama Kenji, dari Tokyo, Jepang. Kenji, seorang manajer sukses di sebuah perusahaan teknologi besar, menulis tentang kehampaan yang ia rasakan dalam pernikahannya yang telah berjalan lebih dari dua puluh tahun. Istrinya, seorang ibu rumah tangga yang berdedikasi, telah menjadi pasangan hidup yang baik dalam mengurus rumah dan anak-anak. Namun, Kenji merasa tak ada lagi percikan, tak ada lagi koneksi emosional yang mendalam di antara mereka. Kehidupan seksual mereka telah lama menjadi rutinitas mekanis yang hambar, lebih sebagai kewajiban daripada ekspresi cinta dan gairah. Ia merasa terjebak dalam "kesepian di tengah keramaian", sebuah fenomena yang ia tahu juga dialami banyak pasangan lain di negaranya yang begitu menjunjung tinggi harmoni permukaan namun seringkali mengabaikan kebutuhan emosional individu.

Lihat selengkapnya