Resonansi awal dari "Suara Cinta Merdeka" dan "Dialog Cinta Merdeka" memang membawa gelombang harapan dan validasi bagi Nisa dan Reza. Kisah-kisah individu dari berbagai belahan dunia yang merindukan pembebasan dan pencerahan dalam urusan hati menegaskan universalitas visi mereka. Namun, seiring dengan meluasnya jangkauan Yayasan Cinta Merdeka Global (YCMG), mereka juga mulai berhadapan langsung dengan dinding-dinding kompleksitas yang menjulang tinggi. Tantangan itu tidak lagi hanya berupa skeptisisme atau kritik sporadis, melainkan resistensi yang mengakar dalam sistem budaya, hukum, dan sosial di berbagai negara.
Salah satu tantangan terbesar pertama yang mereka hadapi adalah keragaman interpretasi budaya terhadap konsep "cinta", "pernikahan", dan "kebebasan individu". Apa yang dianggap sebagai "pembebasan" dalam satu konteks budaya, bisa jadi dilihat sebagai "ancaman terhadap tatanan sosial" atau "westernisasi yang merusak" dalam konteks budaya lain.
Misalnya, ketika tim YCMG mencoba mengembangkan modul edukasi tentang pentingnya persetujuan (consent) dalam setiap level interaksi romantis dan seksual, mereka menemukan bahwa konsep persetujuan individual, terutama bagi perempuan, seringkali bertabrakan dengan praktik perjodohan yang masih kuat di banyak komunitas di Asia Selatan dan beberapa bagian Afrika. Di sana, pernikahan seringkali bukan hanya urusan dua individu, melainkan aliansi antar keluarga besar, tempat suara calon mempelai, khususnya perempuan, seringkali terabaikan atau dianggap tidak relevan dibandingkan kepentingan kolektif keluarga atau klan.
"Bagaimana kami bisa berbicara tentang persetujuan untuk berhubungan seksual, jika persetujuan untuk menikah saja seringkali tidak ada?" keluh seorang aktivis perempuan dari India dalam sebuah sesi konsultasi daring dengan Nisa dan tim YCMG. "Di sini, menolak perjodohan yang telah diatur oleh orang tua bisa berarti pengucilan sosial, bahkan ancaman kekerasan atas nama 'kehormatan keluarga'."
Nisa merenungkan hal ini dengan mendalam. Ia teringat bagaimana di Indonesia pun, sebelum UU Kesiapan Berkeluarga digulirkan, praktik serupa masih banyak terjadi, meskipun mungkin tidak seekstrem di beberapa tempat lain. Ia menyadari bahwa pendekatan "satu ukuran untuk semua" tidak akan berhasil. Materi edukasi YCMG harus bisa diadaptasi, "diterjemahkan" ke dalam bahasa budaya lokal, dan disampaikan melalui tokoh-tokoh atau institusi yang dihormati dalam komunitas tersebut.
"Kita tidak bisa datang sebagai 'penyelamat' yang merasa lebih tahu," ujar Nisa dalam rapat strategi YCMG. "Kita harus menjadi mitra dialog. Mencari titik temu antara nilai-nilai universal hak asasi manusia dengan kearifan lokal yang mungkin juga memiliki konsep-konsep tentang keadilan dan kasih sayang, meskipun terartikulasi secara berbeda. Mungkin kita perlu lebih banyak melibatkan antropolog, sosiolog, dan tokoh adat atau agama lokal yang progresif dalam merancang materi dan pendekatan kita."
Reza menambahkan, "Dan kita harus sangat berhati-hati agar tidak terkesan menghakimi atau merendahkan tradisi. Fokus kita adalah pada dampak negatif dari praktik tertentu terhadap kesejahteraan individu, terutama perempuan dan anak, bukan pada tradisinya itu sendiri secara keseluruhan. Kita menawarkan perspektif, bukan paksaan."
Tantangan lain muncul ketika pilar "Merdeka Jiwa" yang menekankan pentingnya cinta diri dan kemandirian emosional, seperti yang diinspirasi oleh "Stay single as fuck (ttg jodoh).docx", diperkenalkan di masyarakat yang sangat komunal dan kolektivis. Di beberapa budaya di Asia Timur atau Amerika Latin, misalnya, penekanan berlebihan pada "diri sendiri" bisa dianggap sebagai egoisme atau pengabaian terhadap tanggung jawab keluarga.
"Konsep 'selesaikan dirimu sendiri dulu' itu kadang sulit diterima di sini," jelas seorang psikolog dari Korea Selatan yang menjadi mitra YCMG. "Masyarakat kami sangat menekankan harmoni kelompok dan bakti kepada orang tua. Gagasan untuk memprioritaskan kebahagiaan pribadi di atas ekspektasi keluarga seringkali menimbulkan konflik batin yang luar biasa, terutama bagi generasi muda."
Untuk mengatasi ini, tim YCMG harus merumuskan ulang pesan "cinta diri" menjadi sesuatu yang lebih selaras dengan nilai-nilai komunal. Mereka menekankan bahwa individu yang memiliki jiwa yang sehat, stabil, dan mandiri secara emosional justru akan bisa memberikan kontribusi yang lebih baik bagi keluarga dan komunitasnya. "Cinta diri bukan berarti menjadi narsis atau meninggalkan tanggung jawab," jelas Nisa dalam sebuah siniar YCMG yang ditujukan untuk audiens global. "Tetapi tentang membangun fondasi internal yang kuat sehingga kita bisa berinteraksi dengan orang lain dari posisi kekuatan, bukan dari posisi kebutuhan atau ketakutan. Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang mampu memberi dan menerima cinta dengan lebih tulus, tanpa harus kehilangan dirinya sendiri."