Dokter Cinta Dunia

Shabrina Farha Nisa
Chapter #8

Karunia Surgawi dalam Hubungan

Penghargaan kemanusiaan internasional yang diterima Nisa Farha dan Reza Satria menjadi sebuah tonggak penting, bukan sebagai puncak pencapaian, melainkan sebagai sebuah jeda reflektif di tengah perjalanan panjang Yayasan Cinta Merdeka Global (YCMG) yang masih membentang. Gemerlap panggung dunia, pidato-pidato resmi, dan ucapan selamat dari para pemimpin global memang membawa keharuan dan rasa syukur. Namun, bagi Nisa dan Reza, makna terdalam dari semua itu justru terletak pada kesempatan untuk kembali merenungkan esensi dari visi yang telah mereka perjuangkan dengan segenap jiwa dan raga: "membebaskan seluruh penduduk dunia dari pemaksaan dan keterpaksaan cinta, supaya jika nantinya atau bahkan ketika kini sudah berpasangan, mereka akan mencapai karunia dan nikmat-nikmat surgawi yang berkah, menyelamatkan, serta benar-benar menyembuhkan di dunia ini."

Istilah "karunia dan nikmat surgawi" yang kerap Nisa dan Reza gaungkan dalam berbagai kesempatan, bukanlah sekadar frasa puitis tanpa makna. Ia adalah inti dari filosofi "Cinta Merdeka", sebuah konsep yang lahir dari pergulatan batin, pengalaman pribadi, observasi mendalam terhadap kerapuhan hubungan manusia, serta pemahaman spiritual yang terus bertumbuh.

Malam itu, beberapa pekan setelah acara penganugerahan di Oslo, Nisa dan Reza duduk berdua di paviliun pribadi mereka di Jakarta, tempat yang sama tempat benih panggilan global ini pertama kali bersemi. Udara malam yang hangat dan aroma teh melati kesukaan mereka menghadirkan suasana tenang, mengundang kontemplasi.

"Mas," Nisa memulai percakapan, suaranya lembut memecah keheningan, "setelah semua hiruk pikuk ini, aku semakin merenungkan makna 'karunia surgawi' yang selalu kita bicarakan itu. Apakah dunia benar-benar memahaminya seperti yang kita maksudkan? Atau jangan-jangan, ia masih terdengar seperti konsep abstrak yang terlalu agung untuk bisa dijangkau oleh manusia biasa?"

Reza tersenyum, meraih tangan Nisa dan menggenggamnya erat. Cahaya bulan yang menerobos masuk melalui jendela kaca besar menerpa wajahnya, menampakkan garis-garis kebijaksanaan yang semakin matang. "Aku mengerti maksudmu, Sa. Istilah 'surgawi' memang bisa diasosiasikan dengan sesuatu yang transenden, yang jauh di luar sana. Tapi bukankah inti dari ajaran spiritual mana pun, termasuk yang kita yakini, adalah bahwa surga itu bisa dimulai dari sini, dari bumi ini? Dari kedamaian hati, dari keharmonisan hubungan, dari kemampuan kita untuk saling memberi dan menerima cinta dengan cara yang paling murni dan membebaskan?"

Nisa mengangguk. "Ya. Dan aku melihatnya semakin jelas melalui ribuan cerita yang masuk ke YCMG. 'Karunia surgawi' itu ternyata memiliki begitu banyak wajah, begitu banyak manifestasi, tergantung pada konteks budaya, perjalanan spiritual, dan kebutuhan jiwa setiap individu atau pasangan."

Diskusi mereka malam itu, dan di banyak malam-malam berikutnya, menjadi sebuah upaya pendalaman makna. Mereka mencoba membedah dimensi universal dari "karunia surgawi" dalam hubungan, sebuah kondisi yang mereka yakini bisa dicapai ketika tiga pilar kemerdekaan – Merdeka Raga, Merdeka Jiwa, dan Merdeka Ilmu Pengetahuan – telah terwujud secara utuh.

Bagi sebagian orang, "karunia surgawi" mungkin termanifestasi sebagai kedamaian dan ketenangan batin (sakinah) dalam sebuah pernikahan. Ini adalah kondisi ketika pasangan merasa aman secara emosional, diterima apa adanya tanpa syarat, dan menemukan rumah sejati dalam dekapan pasangannya. Mereka tak lagi merasakan kecemasan akan penolakan, ketakutan akan pengkhianatan, atau tekanan untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya. Hubungan menjadi tempat berlindung dari badai kehidupan, sebuah oase tempat jiwa bisa beristirahat dan memulihkan diri. Nisa teringat pada kisah seorang perempuan di Jepang, sebut saja Hana, yang selama bertahun-tahun hidup dalam pernikahan yang penuh dengan kritik terselubung dan tuntutan kesempurnaan dari suaminya. Melalui program konseling YCMG, Hana dan suaminya belajar teknik komunikasi empatik. Sang suami akhirnya menyadari dampak destruktif dari perilakunya, dan Hana menemukan kembali keberanian untuk menyuarakan kebutuhan dan batasannya. Perlahan, rumah tangga mereka yang dulu terasa seperti medan perang dingin, berubah menjadi tempat mereka bisa saling mendukung dan menghargai keunikan masing-masing. "Saya baru merasakan apa artinya bernapas lega dalam pernikahan saya sendiri," tulis Hana dalam testimoninya. "Inikah yang disebut surga kecil di dunia?"

Lihat selengkapnya