Kabut mulai turun, selepas menaiki bis kecil berpintu tengah itu napas Ibu seperti sudah tercekat. Kata Bu Bidan masih belum terjadi pembukaan maka ibu disarankan pulang.
"Kau siap membantu ibu, apapun yang terjadi?" Tangan ibu yang dingin sedingin es menggandeng tanganku, sementara tangan kirinya membelai-belai perutnya yang semakin membesar, buncit ke depan. Mulutnya seperti membaca banyak doa-doa. Aku mengangguk.
"Jika ibu kesakitan di jalan, kau berani mencari bantuan?" Sekali lagi ibu menanyakan kesanggupanku. Kali ini, ibu sedikit duduk di dekat tangga ketiga dari 1148 anak tangga yang akan kami lalui. Kakinya menjulur ke anak tangga nomor satu dan seperti kaki-kaki gajah yang besar, kaki ibu membengkak.
"Aku akan membantu ibu," ucapku tegas dan jelas, walaupun ada ketakutan. Tangan kecilku mengusap keringat besar-besar sebesar biji jagung di dahinya kemudian mencium pipi ibu.
"Apa ibu di sini saja? Mia bisa naik ke atas kemudian segera turun kembali dengan Pakne."
Kemudian ....
"Mia," teriak Ibu. Tangannya memegang perut bagian bawah.
"Adek menendang."
Hah? Apakah adikku akan menjadi pemain bola?
"Sepertinya ...." Ucapan ibu tergantung. Kepalanya menengok ke belakang sedikit ke atas, mendongak melihat deretan anak tangga.
"Kau ingat berapa anak tangga sebelum sampai di gubuk Mbah Lastri dekat jurang Belantik?" tanyanya sambil mencoba berdiri. Aku mulai menghitung.
"213 anak tangga, Buk." Aku membantu membawakan tas tangannya yang sudah berubah berat untuk dibawanya.
"Baik. Ibu kuat. Kita naik." Tangan ibu merangkul pundakku untuk membantunya berdiri.
"Ibuk yakin?" Ibu mengangguk, kemudian tersenyum. Mulutnya monyong ke depan beberapa kali untuk mengambil napas dan ... tangga ke lima terlampaui saat cairan bening merembes di sela daster batik yang dikenakannya.
I-bu ....
Aku memilih diam. Tidak berisik.