Awal tahun 2018.
"Eh, kalian udah lihat koas-koas baru? Ada yang ganteng!” seorang perawat dengan tag nama Fenti meletakkan papan tulisnya di atas meja panjang pada bagian nurse station itu.
***
Minggu kedua di pertengahan tahun 2018, terlihat seorang laki- laki berkulit eksotis tengan bersiul riang sambil membetulkan rambutnya yang acak-acakan. Tingkahnya menggambarkan dengan jelas kalau suasana hatinya sedang baik-baik saja.
“Sa senang sekali bisa satu kelompok dengan ko, Semesta!” rupanya itu Maruna, laki-laki dari Timur itu memeluk Semesta erat. Begitu bahagia bisa menjalani hari-hari koasnya, bersama Semesta tentunya.
Setelah melalui berbagai macam drama kehidupan kuliah akhirnya kini mereka memasuki satu jenjang lebih maju. Koas. Kerennya sih, Dokter Muda. Sudah dua minggu berlalu sejak mereka memulai karir atas nama ‘Dokter Muda’ tersebut. Selama waktu itu pun sudah banyak kisah yang didapatkan oleh para lelaki tampan tersebut.
“Ayo, ah. Nanti diomelin Dokter Ajeng dan—” Semesta melepas pelukan Maruna. “Jangan sampai aku dikira homo sama kamu!” protesnya sambil melangkah lebar dengan bulu kuduk yang sudah berdiri tegak sejak Maruna memeluknya tadi.
Keduanya melangkah berdampingan, dengan jas putih panjang membalut tubuh. Tak lupa satu tag nama di dada kiri masing-masing. Mereka memasuki gedung Anggrek yang begitu ramai pengunjung. Hari masih begitu pagi, namun pasien juga keluarganya telah berdatangan. Saat itu pukul 06.45 dan mereka sudah memenuhi loket. Semesta dan Maruna mengambil langkah cepat, menaiki eskalator menuju Poliklinik Kulit dan Kelamin di lantai dua
“Permisi, Dokter.” Semesta mengetuk pelan pintu berwarna kecokelatan dan satu kaca kecil dengan pandangantembus ke dalam. “Pagi,” sapa Maruna melanjutkan.
Seorang wanita dengan kerudung tosca juga snelli berlengan panjang menghias tubuhnya menatap keduanya. Senyumnya terukir namun seperti ada hawa mematikan menanti kedua lelaki itu.
“Pagi, juga Maruna, Semesta. Kebetulan, duduk dulu sini,” sahut Dokter Ajeng. Dokter cantik itu menunjuk sekilas pada kursi kosong dihadapannya. Kedua lelaki itu hanya mengangguk menuruti perintah. Takut kalau-kalau dikasih nilai merah. Biasalah, pencitraan dalam dunia pendidikan, semua orang pasti pernah melakukannya, iya ‘kan?
Dokter Ajeng memulai petuahnya dan beberapa hal yang berkaitan dengan tugas Semesta dan Maruna. “Jadi, nanti kalian harus bisa langsung periksa pasien, ya. Setelah kalian periksa baru kalian laporkan status dan kondisinya ke saya. Saya juga mau dengar usulan kalian mengenai diagnosis dan tata cara penanganannya,” jelasnya pada Maruna dan Semesta, keduanya hanya mengangguk paham.
“Satu lagi, jangan lupa di foto, ya. Kan, saya enggak lihat langsung pasiennya jadi kalian buat dokumentasi, minta izin pada pasien terlebih dahulu.”
Maruna yang tampak melamun, entah apa yang sedang ia pikirkan, terlonjak saat satu suara lembut memecah diamnya. “Maruna, penyebab gatal apa saja? Kalian wajib buat minimal tiga buah diagnosa,” kata Dokter Ajeng menatapnya manisnamun tajam.
“Kudis-” ucapnya pelan.
Semesta bergeming, memandang vas bunga, tidak berniat membantu temannya yang kini sibuk mencolek-colek lenganbagian bawahnya.
“Hm, boleh. Apa lagi?”
“Panu dan-” Maruna terhenti, menelan pelan ludahnya. “Jarang mandi,” tambahnya pelan, Maruna menutup matanya rapat kala itu.
Dokter Ajeng yang mendengar tuturan Maruna menghela napasnya galak, mengacungkan satu pulpen ke arah laki-laki Timur itu. “Saya suruh kamu pulang kampung, ya, kalau sampai enggak bisa kasih diagnosis pasien!” ujarnya galak dengan ekspresi gemas.
Semesta yang menahan tawanya kini beranjak dari posisinya, mempersiapkan diri dan beberapa hal yang mereka perlukan dalam pemeriksaan. Sedangkan Maruna kini menuju bagian loket di depan, mengambil formulir pasien
“Bapak Rian!” teriak Maruna sebisa mungkin bersikap profesional.
Tampak seorang perempuan berusia empat puluhan mendekat ke tempat Maruna berdiri, menimbulkan kebingungan di kepalanya. “Ibu, keluarga pasien?” tanya Maruna polos.
Pasiennya hanya diam tidak menjawab. “Ibu, mana bapaknya? Bapaknya kenapa ditinggal?” tanya Maruna kembali begitu mendapati si ibu hanya bergeming ketika ditanya.
“Saya Rian, Dok,” ujarnya menatap Maruna. Maruna tersenyum kikuk, mengusap pelan tengkuknya karena malu. “Oh, mungkin ini salah ketik,” bisiknya.
Maruna mempersilakan pasien tersebut masuk ke dalam ruangan di mana ada Semesta yang sudah sangat siap di sana. Maruna yang masih menyimpan rasa bingung menuntun Ibu Rian untuk duduk pada kursi kosong yang ada di ruang pol tersebut.
“Silakan duduk, Ibu.”
Tanpa berkata-kata, Ibu Rian duduk di sana dengan santai dan begitu nyaman.