Tak ada seorang pun di dalam rumah. Pelan-pelan aku buka tirai ruang tengah, lalu naik ke lantai dua menuju kamarku. Kamarku adalah tempat teraman di rumah ini. Aku tidak suka jika harus berkumpul bersama orang-orang itu di lantai bawah.
“Dominic, apa itu kau?” ibuku berteriak dari dapur.
“Iya,” kataku singkat. Langsung berlari menuju kamar.
Setelah mandi dan berganti baju, dengan berat hati aku turun dan menuju dapur. Di sana ada ibuku dan paman Gerda. Paman Gerda membantu ibuku mengulek sambal, ibuku menggoreng ikan. Keduanya sedang mempersiapkan makan malam. Aku harus melakukan sesuatu. Aku memang tidak membayar dengan uang untuk tinggal di rumah ini (yang kemungkinan besar diharapkan oleh ayahku), tapi aku membayarnya dengan kerja. Bekerja di dapur, bersih-bersih rumah, mencuci pakaian orang-orang satu rumah adalah pekerjaan yang biasa aku lakukan, dan itu pun masih tak pernah dianggap cukup baik oleh ibuku. Oh, sungguh aku tak sabar membakar rumah ini beserta orang-orang di dalamnya.
Dulunya, kami memiliki beberapa orang yang membantu pekerjaan rumah. Tapi mereka tidak pernah tinggal lama. Sebelum yang lain datang, yang satu telah pergi. Jarak kedatangan seseorang yang baru biasanya sangat lama. Sembari menunggu itu, aku dan Paman Gerda yang menggantikan mereka. Mungkin sebaiknya suatu hari aku yang melamar pekerjaan pembantu rumah tangga, setidaknya aku akan digaji setiap bulan.
Beruntungnya aku punya paman Gerda. Sudah kukatakan, dia adalah orang yang paling waras di rumah ini. Dia kakak pertama ibuku. Ibuku memiliki dua kakak lainnya. Salah satu saudara ibu ingin Paman Gerda tinggal bersamanya setelah dia baru saja pulang dari Rumah Perawatan. Jadi, Rumah Perawatan itu berada di tempat yang jauh. Ibuku menginap beberapa hari jika ingin menjenguknya. Aku sendiri hanya beberapa kali saja pernah ke sana, dulu sekali, jadi aku tidak terlalu ingat seperti apa tempat itu. Ibu bilang, kakaknya itu sudah lama dirawat di sana. Saat kutanyakan mengapa dia harus dirawat? Ibu bilang, “Pamanmu itu terlalu cerdas,” jawabnya.
“Ia dirawat karena terlalu cerdas?” Oh, pantas saja orang bodoh selalu merasa mereka baik-baik saja. Aku teringat kakakku.
Sama seperti oma, paman Gerda lebih memilih tinggal bersama ibuku. Tentu awalnya ayahku menentangnya. Mestilah semakin banyak mulut yang harus dia beri makan. Setelah ibu berkata bahwa dia tidak akan tinggal percuma, dia akan banyak membantu di sini, barulah ayahku mengizinkan.
Di meja makan, kami sekeluarga berenam mengitari meja berbentuk oval. Dengan latar suara televisi di ruang tengah, ayahku duduk di ujung meja depan, di ujung seberangnya ada oma. Aku duduk di samping ibuku di salah satu sisi meja, di sisi lainnya, paman Gerda dan Seonggok Daging duduk berdampingan. Kami makan dengan tenang untuk beberapa saat, sampai ayahku mulai berbicara mengenai tanah yang akan dibelinya. Ibuku sesekali pura-pura menimpali dengan anggukan dan beberapa pertanyaan. Sama seperti dirinya, aku pun sebenarnya tidak ingin mendengarkan segala sesuatu dari mulutnya. Alangkah menyebalkannya mendengarkan cerita seseorang yang hanya berisikan mengenai segala sesuatu tentang dirinya dan kekayaannya. Kalau mendengarkannya dari orang lain, kurasa tak apa-apa. Tapi mendengarkanya langsung dari keluargamu sendiri bisa bikin muak. Untuk apa mendengar cerita segala hal yang dimiliki ayahku yang hanya akan dinikmati oleh dirinya sendiri?
“Asu!” Oma memekik. “Ikan ini banyak sekali tulangnya. Aku tidak bisa makan enak kalau seperti ini!” katanya sebelum memasukkan sesendok penuh nasi ke mulut. Ibu menyentuh tangannya, seolah berkata, “Bu, bisakah kita tidak mendengar umpatan di meja makan?”