Dominic

Indah Pratiwi
Chapter #5

#5

Dari kamarku aku biasa mendengar suara pembawa berita TVRI sedang mengumumkan saatnya Dunia Dalam Berita. Dunia dalam Berita pertanda bagi anak-anak untuk waktunya tidur. Setelah makan malam, aku mencuci piring dibantu paman Gerda. Oma telah masuk ke kamarnya sebelum kami semua selesai makan malam. Ibu membersihkan meja makan kemudian duduk di ruang tengah menonton televisi bersama ayah. Dia melakukan ritual ‘Menjadi Istri Baik” selama ayah berada di rumah. Aku tahu betul, dia benar-benar jemu dengan segala macam ritual itu dengan suaminya sendiri dan jika bisa ibu pasti ingin membunuh ayah dalam tidurnya. Dan ibu akan berkata, dia pantas mendapatkannya.   

Seonggok Daging kadang ikut menonton bersama mereka. Aku benci kalau harus menonton bersamanya. Dia memerintahku bagai seorang raja, untuk memijat kakinya, membawakannya air minum, dan duduk di dekatnya agar dia bisa menyuruhku bolak balik mengganti saluran televisi. Dia itu benar-benar brengsek. Dia berani pada orang-orang di dalam rumah, tapi takut betul dengan film horor di televisi. Sambil menutup kedua matanya seperti gadis kecil, dia menyuruhku segera mengganti saluran, dan setelah itu aku berlari-lari kecil ke dapur mengambilkannya segelas air minum. Si tolol itu tersedak jagung rebus karena makan sembari berbaring. Idiot. Menjadi yang paling muda di rumah ini benar-benar bikin sengsara.

Aku susah sekali tertidur. Aku iri dengan orang lain yang begitu kepalanya menyentuh bantal langsung tertidur pulas. Kalau aku harus bolak balik ke kanan dan ke kiri. Bangun dan berpindah tempat, kaki yang tadinya berada di posisi kepala, sekarang berada kembali lagi ke posisi semula, menyesuaikan tinggi rendahnya bantal, bernyanyi-nyanyi kecil hingga menghitung domba seperti yang dilakukan orang-orang di film barat. Tapi tidak berhasil, aku malah menjadi fokus dengan jumlah domba yang kuhitung, maka hitungannya tak pernah berakhir dan aku tak pernah merasa kantuk.  

Suara penyiar berita, Dian Budiargo kini terdengar. Jika aku menutup mata, rasanya samar-samar suaranya itu mirip Anita Rahman, renyah, enak didengarkan. Aku menutup mata, mencoba menyimak satu persatu kata-katanya. Mungkin dengan ini aku bisa tertidur:

Selamat malam, pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, meninggal dunia tadi malam karena menderita komplikasi akibat operasi dua belas hari lalu. Operasi yang sebelumnya diberitakan sukses itu, dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan pada sistem pencernaan pada pemimpin Iran yang berusia tujuh puluh delapan tahun itu; Kedutaan Uni Soviet di London, menuduh Dinas Rahasia Inggris menanam alat penyadap suara di Gedung perdagangan Soviet di London dan di tempat tinggal diplomat Soviet, namun sejauh ini pemerintah Inggris membantah tuduhan itu; Setelah berita olahraga, Dunia Dalam Berita akan kami akhiri dengan sebuah berita dari tanah air mengenai pembuatan kue coklat.

Sejenak, aku tidur nyenyak dalam waktu yang cukup hingga terbangun di tengah malam. Aku melirik jam di samping tempat tidurku, jam dua lewat sebelas menit. Aku benar-benar bermasalah dengan tidur. Kalaupun aku bisa tertidur juga akhirnya, aku tetap akan terbangun di tengah malam. Kalau besoknya hari Minggu, sebenarnya tidak masalah, tapi jika besok hari sekolah, itu yang bikin benar-benar kacau. Meski begitu, tak pernah aku terlambat masuk, sekalipun. Aku sangat disiplin dengan jam masuk sekolah, apalagi jika pagi itu giliranku untuk piket kelas. Pagi-pagi sekali, aku sudah datang dan mulai menyapu juga mengepel lantai kelas. Tidak seperti orang-orang di rumahku, apa yang aku lakukan, meski itu hal kecil seperti mengambilkan kapur tulis atau menghapus papan tulis, guruku selalu berterima kasih, mereka menghargaiku. Guru-guruku berkata, aku ini anak yang rajin, patut dicontoh. Tapi sama sekali, aku tak pernah merasa hebat sampai anak-anak yang lain harus mengambil contoh dariku. Aku bahkan benci diriku sendiri. 

Jadi kuputuskan untuk memeriksa kamar oma, mungkin dia masih terjaga. Dari kejauhan, tak ada cahaya yang muncul dari celah pintu kamarnya. Dia pasti sudah tidur. Saat akan kembali menuju kamarku, aku melihat bayangan seseorang yang sedang mengisap rokok di teras. Awalnya kupikir itu adalah Seonggok Daging, tapi kalau dia yang merokok tak mungkinlah akan sesenyap itu kondisinya. Baginya, merokok adalah sesuatu yang menurutku bikin repot. Kenapa orang hanya ingin merokok harus membawa teman-teman yang banyak dan minum minuman keras? Tidak bisakah ia merokok hanya butuh satu atau dua teman dan merokoklah dengan tenang, keparat. Mungkin saat ini dia sedang berkeliaran di suatu tempat, minum-minum dengan sesama teman penganggurannya.

Itu pastilah paman Gerda. Dia juga sama sepertiku, bermasalah dengan tidur. Dia bahkan pernah tak tidur selama tiga hari berturut-turut dan masih kuat beraktivitas seperti biasa. Tapi begitu di hari keempat, ketika dia sudah merasa kantuk, dia tidur seperti orang mati. Dia bahkan tak bangun untuk makan siang dan makan malam. Aku harus mencubitnya berkali-kali agar dia terbangun, tak ada reaksi, dia tak bangun sama sekali. Begitu juga di hari kedua, dia masih terbaring di atas tempat tidurnya masih dengan posisi yang sama. Benar-benar seperti mayat, hanya saja denyut nadi dan nafasnya masih ada. Ibuku sudah berencana membawanya ke rumah sakit saat oma turun dari kamarnya dan ikut memeriksa anak lelakinya itu. “Dia tidak apa-apa,” katanya sambil berdiri di bawah kaki pamanku dengan tangan disilangkan ke belakang. “Dia cuman tidur, seperti biasa.”

“Tapi, Bu. Tidak mungkin dia tidak bisa dibangunkan sama sekali. Sudah tiga hari dia begini,” ucap ibuku sambil meremas kedua tangannya di depan perut. Dia selalu seperti itu jika merasa cemas.   

Oma tak berkata apa-apa.

“Setidaknya dia bisa memberi respon jika dibangunkan,” tambah ibuku lagi saat semakin cemas.

Oma menghela nafas sambil melirik lelah ke ibuku. Dia berjalan ke samping tempat tidur, berbungkuk kemudian duduk di samping tubuh pamanku. Dia mendekatkan wajahnya, menghembuskan nafas secara kasar ke wajah itu tiga kali, sebelum menampar dengan keras pipi paman masing-masing satu kali di kanan dan di kiri. Ibu melompat dari tempatnya berdiri untuk menahan oma berbuat lebih jauh, namun paman Gerda telah menggerakkan kedua tangannya dan melakukan peregangan badan dengan santai. Barulah kemudian menggosok-gosok kedua matanya lalu menunjukkan wajah heran. “Ada apa?” tanyanya.

Oma tidak berkata apa-apa. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar dari kamar.

“Kau tidur sudah tiga hari,” kata ibuku dengan wajah cemas.

“Paman Gerda susah sekali dibangunkan,” kataku menambahkan.

Kakak ibuku itu tidak berkata apa-apa, wajahnya kebingungan. Ibu hanya menghela nafas, dan menanyakan pada paman apa dia tidak merasa lapar, lalu menyuruhku bergegas mengambil makanan di dapur. Sebelum aku menuju ke dapur, paman Gerda menahanku sambil berkata, “Aku tidak lapar.”

Besok harinya, pamanku berkata bahwa rohnya sedang ‘berjalan-jalan’ dan dia agak sedikit tersesat saat pulang. Tapi, selebihnya dia tidak apa-apa. “Bagaimana jika oma tidak membangunkan paman waktu itu?” tanyaku.

Paman Gerda mengangkat kedua bahunya sambil berkata, “Tidak apa-apa. Aku tetap bisa pulang kok. Tapi, mungkin butuh waktu yang agak lama juga sih.”

Di teras, paman Gerda duduk menyendiri setiap selesai makan malam atau kadang di tengah malam ketika matanya tak bisa terpejam. Dia betah berlama-lama sembari mengisap rokok dan mengembuskannya pelan-pelan membentuk barisan asap melingkar sempurna. Hal itu merupakan salah satu kelebihannya yang sering dipertontonkannya padaku.

Kususul dirinya di teras, dia tersenyum sambil menepuk-nepuk kursi di dekatnya. Aku duduk di sampingnya dan bersandar di bahunya sambil melipat kedua kaki ke dada.

“Susah tidur lagi yah?”

Aku mengangguk.

“Baca buku saja.”

“Sudah dibaca semuanya.”

“Baca ulang lagi.”

Lihat selengkapnya