Dominic

Indah Pratiwi
Chapter #8

#8

Seonggok Daging lahir lima tahun lebih dulu dariku. Anak pertama biasanya adalah perwujudan harapan-harapan baik orang tua. Maka dia terlahir besar dan sehat. Ibuku bilang jika sebenarnya anak sulungnya itu telah menunjukkan gejala-gejala yang akan membuat susah banyak orang nantinya. Di kala dia lahir beratnya mencapai lima kilogram lebih. Dengan badan kecil ramping, ibuku hampir mati mengirim Seonggok Daging dari dunia rahim. Ketika usianya tujuh tahun, Seonggok Daging pernah terjatuh dan kepalanya membentur sebuah batu. Ibu merasa dari situlah bermula kesintingan anak lelakinya itu.

Setelah tamat SMA, Seonggok Daging tak melanjutkan kuliah. Dia terlalu bodoh. Sewaktu sekolah pun, dia lulus dengan susah payah. Tiap kenaikan kelas, ibuku selalu memohon kepada wali kelasnya agar anak bebalnya itu tetap dinaikkan sembari menyelipkan amplop. Tapi guru-guru itu tak bisa dibeli. Mereka menyarankan Seonggok Daging untuk dipindahkan sekolah. Beberapa kali kenaikan kelas, Seonggok Daging harus pindah sekolah, ya, karena jarang ada guru yang mau disogok, maksudku, karena itu tadi, dia anak yang bodoh.  

Kami semua sepakat bahwa ada yang salah dengannya, seperti ibarat TV rusak. TV-nya masih menyala, tapi gambarnya tidak ada. Dan mungkin saja harus segera diperiksakan. Tapi Seonggok Daging merasa tak ada yang salah dengannya. Dia baik-baik saja. Dan begitulah, penyangkalan terhadap dirinya ternyata berbuah sesuatu yang tidak baik kepadaku.

Aku ingat di malam-malam itu saat aku masih kecil. Dia kadang mengetuk pintu kamarku dan berkata dari luar. “Kau harus membukanya, kalau tidak, besok kau tidak akan selamat.”

Dia masuk ke kamarku dan tanpa alasan yang jelas memukuliku. Beberapa kali hal itu berlangsung. Tapi aku tak berani menceritakannya pada ibu dan ayahku, karena dia selalu mengancam untuk membunuh.  

Aku mengalami malam-malam mencekam yang panjang di masa itu. Saudaraku sendiri ingin membunuhku tanpa aku tahu apa kesalahanku. Hampir setiap malam, dia datang dengan apa saja ditangannya dan menggunakannya untuk memukulku. Kayu panjang hingga sudet. Luka-luka di tubuhku, kusembunyikan dari orang-orang. Suatu malam kegilaan Seonggok Daging memuncak, manakala dia mencekik leherku dan aku hampir kehabisan nafas.

Aku tak mau mati konyol, apalagi di tangan kotor manusia iblis itu. Aku laporkan hal itu pada ibuku. Ibu tidak percaya karena Seonggok Daging selalu bersikap manis padaku di hadapannya. Aku perlihatkan semua luka-luka di tubuhku, barulah kemudian ibu percaya. “Jangan katakan ini pada ayahmu.” Ibu berpesan padaku. Nanti ibu yang akan bicara pada kakakmu.

Tentu daging busuk itu tak mau mengaku. Dan ketika dia dipaksa mengaku, dia malah memukul ibuku. Dia benar-benar gila. “Jangan sampai ayahmu tahu.” Ibu terus menerus berpesan seperti itu padaku. Seonggok Daging makin menjadi-jadi. Jika ayahku tak tinggal di rumah beberapa hari, dia terus-terusan membuat onar di dalam rumah. Dia mulai membawa beberapa teman-teman perempuannya mabuk-mabukan di dalam kamar. Jika tak diberi uang, ibuku dipukulnya, oma juga pernah dipukulnya, dan dia baru akan berhenti ketika diberi uang. Kalau sudah diberi uang, dia akan menghilang, dan beberapa hari kemudian dia datang jika uangnya telah habis, lantas memukul lagi untuk mendapatkan uang. Bangsat betul orang itu.

Omalah yang akhirnya memberitahu ayahku. Ayahku geram bukan main. Anak lelakinya itu benar-benar tidak berguna. Tinggal di rumahya, tidak bekerja, menggunakan fasilitas yang dia sediakan dan sekarang dia ingin meneror perempuan-perempuan yang ada di rumah. 

Malam itu terjadi pertengkaran hebat antara Seonggok Daging dan ayahku. Jika tetanggaku tak ikut campur, keduanya akan saling bunuh. Aku sebenarnya tak ingin lagi mengingat-ingatnya, membuatku trauma.

Sekarang, seonggok Daging masih tinggal di rumah. Dia tak punya tempat tinggal lain dan tidak punya pekerjaan. Bukannya tidak ada tempat yang tidak ingin mempekerjakannya, tapi si bangsat sialan itu terlalu malas mencari pekerjaan. Dia ingin uang datang sendiri kepadanya.

Meski demikian dia tak lagi banyak berulah. Hanya saja pengangguran sialan itu masih bersikap seperti bos di dalam rumah. Ayah tak lagi memberinya uang. Sudah cukup dia tinggal gratis di rumah ini, begitu katanya. Kalau dia mencuri, biarkan saja. Biarkan saja dia dipenjara, aku takkan menebusnya. Aku tak peduli pada anak tidak tahu malu itu. Jadi, Dominic, kau satu-satunya harapan ayah dan ibu. Kau jadilah manusia yang benar.

Aku tak ingin menjadi manusia, aku tak ingin jadi apa pun. Aku bahkan kadang masih bingung manusia yang benar itu seperti apa? Orang tuaku tidak pernah betul-betul menunjukkannya. Mereka mengatakannya, tapi tidak memberikan contohnya. Aku bahkan tak ingin berada di sini. Orang-orang ini membuat hidupku susah.

Sejak kedatangan Paman Gerda, Seonggok Daging tak lagi banyak tingkah. Aku tak tahu apa yang dimiliki Paman Gerda yang bisa membuat keparat itu diam. Seonggok Daging juga sudah jarang sekali berada di rumah. Rumah benar-benar sedikit lebih damai tanpa kehadirannya. Seperti duri yang tertusuk di kulit akhirnya lepas. Namun, seandainya aku jadi burung, aku akan terbang mencarinya, lantas buang air di atas kepalanya, setiap hari.

Biasanya dia berkeliaran beberapa hari, datang untuk makan siang atau malam, mengambil baju lalu pergi lagi. Ibu kadang masih memberinya uang. Dia tak tega melihat anaknya itu datang dengan baju lusuh dan belum makan. Tapi sungguh, aku benar-benar membenci daging busuk itu. Kebencianku ini sudah mengakar di dalam tubuhku. Aku ingin sekali dia mati, bukan mati dalam damai. Tapi mati membusuk setelah dia menderita lebih dulu. Aku ingin tubuhnya berada di kursi listrik. Saat listrik merayapi tubuhnya, jantungnya akan berhenti, darah mendidih dan sistem sarafnya macet, dia akan mengalami sesak napas. Tubuhnya mulai membengkak dan darah yang mendidih akan keluar dari tubuhnya. Lebih baik kalau bola matanya meloncat keluar, kemudian tubuhnya terbakar oleh api yang keluar dari kulit. Saking panasnya, daging busuknya juga berjatuhan. Akan bagus lagi jika dia mengalami itu hingga beberapa menit dengan kondisi sadar dirinya terbakar.

Lihat selengkapnya