Dominic

Indah Pratiwi
Chapter #10

#10

Jika bukan karena Baron Buana yang merusak rencananku, hari ini aku tidak lagi hidup dan masih bersama orang-orang sinting itu. Dan ketika aku ingin mengulang untuk mencobanya, kebulatan tekadku menghilang entah kemana. Aku ragu. Mungkin suatu hari aku akan mengulanginya kembali. Tapi entah kapan. Maka dari itu, aku memikirkan hal sebaliknya, aku saja yang menghilangkan orang-orang itu. Aku akan membunuh mereka.

“Baiklah, nanti kutuliskan suratnya,” kataku lagi pada Baron Buana suatu hari. Dia benar-benar bikin diriku kesal. Mengganggu ketenanganku saja. Kalau datang, dia hanya meminta dibuatkan surat cinta. Tampang sangar begitu tidak berani menghadapi perempuan secara langsung. Pengecut!

“Ada syaratnya,” aku berujar sambil menatapnya serius.

“Tidak, jangan syarat itu lagi.”

“Aku tidak meminta yang lain.”

“Bocah sinting,” dia menoyor pelan kepalaku dengan ujung jarinya dan berpaling dengan wajah masam.

“Bang!” kataku. “Apa sulitnya? Sekali ini saja.”

Dia menoleh. “Suratku tidak sepadan dengan seluruh keluargamu. Kalau kau tak mau tuliskan untukku, tidak apa-apa.”

“Kalau begitu, Seonggok…”

“Tidak.”

Dia  terduduk lemas duduk di kursi kayuku. Dia satu-satunya orang yang kuijinkan untuk duduk di kursi ini.  

Sebenarnya hanya itu yang aku pinta darinya. Aku tak menjanjikan uang yang banyak, tapi kalau dia ingin melakukannya, aku akan membuat surat cinta untuk Heni Rahayu berapa pun yang dia inginkan. Aku takkan janji isinya akan membuat hati Heni Rahayu leleh dan jatuh cinta padanya sesegera mungkin, tapi batu karang di laut akan terkikis juga sedikit demi sedikit karena ombak. Bisa saja karena serangan surat cinta yang bertubi-tubi itu akan membuat Heni jatuh juga dalam pelukannya. 

“Kau ini anak yang cerdas, teruslah seperti itu. Kecerdasanmu akan membawamu nanti pergi jauh dari sini. Suatu hari kau akan meninggalkan mereka. Sabar saja,” katanya kemudian.

Bang Baron menghela nafas panjang. Dia kemudian mengoceh mengenai ketidakadilan, kejahatan dan semacamnya yang dilakukan oleh semua orang. Aku tidak tahu apa yang dia katakan, tapi aku terus saja duduk diam menyimak. Katanya orang-orang seperti itu yang telah membuatnya menginginkan bahwa kiamat segera tiba, seandainya jika dia percaya jika kiamat itu benar-benar ada. Tapi karena dia juga masih ragu, maka dia berharap akan ada sebuah virus mematikan yang akan membersihkan seluruh umat manusia.   

“Ya, lebih baik begitu. Mati saja semuanya sekalian,” kataku. “Kita kembali ke masa di mana tempat ini belum dikotori manusia-manusia bejat.”

“Kau ini benar-benar ingin mati, yah? Suatu hari nanti mungkin kau akan ketemu lelaki baik dan juga pintar sepertimu, yang akan menyembuhkan isi kepalamu yang sakit itu. Dan akan mengajakmu menikah.”

Lihat selengkapnya