Ibuku menangkap basah diriku dan bertanya mengapa aku menimbun minyak tanah di gudang. Tak ada lain yang bisa aku katakan, bahwa untuk mengisi kompor minyak, jaga-jaga saja jika gasnya habis.
“Mengapa kau peduli? Tanyanya. “Kau tidak pernah melakukan ini sebelumnya.”
“Sekarang aku melakukannya. Tidak apa-apa, kan?”
Wajah ibuku berubah merengut. Dia tidak suka jika anaknya berbicara balik padanya. Aku tahu sebenarnya dia tidak sedang benar-benar bertanya. Dia hanya mau aku diam saja dan menerima segala sindiran yang dilemparkannya padaku. Dia benar-benar tak suka dilawan, jika sudah menyangkut diriku dan dia, hanya dia yang boleh marah, aku tak boleh. Aku pernah murka dibuatnya ketika tanpa seijinku dia memberikan boneka kucing kesayanganku satu-satunya yang sudah lama kusimpan kepada orang lain.
“Mengapa kau begitu pelit? Kau mestinya selalu berbagi pada orang yang tidak mampu,” jawabnya tanpa merasa bersalah sedikit pun.
“Iya, ibu. Berbagi itu baik, asalkan tidak mengambil barang milik orang lain tanpa seijin yang punya. Mengapa ibu yang ingin berbuat baik, tapi harus aku yang menanggungnya? Jika aku ingin berbuat baik, maka akan kulakukan sendiri dengan barang milikku sendiri dan tidak mengambil barang orang lain.”
“Kau tidak usah banyak bicara.”
“Mengapa ibu tidak memberi uang ibu sendiri? Bisakah ibu menghargai barang-barang milikku?”
“Dominic, itu hanya boneka tua. Dan jangan coba-coba membantahku.”
“Bahkan jika itu boneka tua dan jelek sekali pun, itu bukan milik ibu. Ibu tak boleh mengambil barang milik orang lain tanpa ijin. Itu mencuri namanya.”
“Dominic!”
“Aku bicara mengenai menghormati milik orang lain. Meski ibu adalah orang tuaku, ibu tetap tidak berhak mengambil barang-barangku tanpa bilang terlebih dahulu.”
“Dominic!”
Sudah bisa aku tebak, sebagai orang yang lebih dewasa dan tahu segala hal, harga diri ibu terluka. Dia benar-benar naik pitam mendapati anaknya yang seolah-olah menasehatinya. Aku tidak sedang menasehati, aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya karena kau orang dewasa kau tidak bisa melakukan hal seenaknya saja pada anak kecil. Ibu mengeluarkan semua kata-kata kasar dan caci makinya padaku, bahkan dari semua perkataannya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan itu, tentu karena dia ingin membuatku merasa bersalah. Dari ibuku yang malang itulah aku jadi belajar, semakin bersalah seseorang, maka orang itulah yang paling kuat amarahnya. Dia akan menutupi kebenaran yang sesungguhnya dengan amarahnya yang tidak terkendali. Sesungguhnya, secara tidak langsung, dia sedang mengakui kesalahannya.
Aku pun gusar dibuatnya. Karena tidak tahan dimaki-maki olehnya, aku menangis dan kabur dari rumah selama beberapa hari untuk melampiaskan amarahku. Sudah kukatakan, aku satu-satunya yang dilarang mengekspresikan emosi di dalam rumah. Ketika aku kembali, ibu menggembok pagar, aku tidak diperbolehkan masuk. Alasannya: karena aku marah barang milikku sendiri diambil tanpa sepengetahuanku. Aku tidak boleh marah, titik. Ibu berkata, mestinya aku menjadi orang dermawan yang penuh cinta kasih (dan tidak boleh merasa kesal jika barangku diambil diam-diam). Lihat, siapa yang berbicara mengenai hal itu. Konyol betul. Menjadi orang tua memang sulit, tapi maksudku kau tidak harus menjadi manusia bodoh yang egois.
Jadi sebagai anak manis dan patuh, aku akan diam aja dan berbaik hati membeli minyak tanah setiap hari sedikit demi sedikit. Dan kukatakan padanya, aku hanya membantu. Sedikit lagi.