Perpustakaan cukup gelap, suasana yang Shall sukai. Sunyi, senyap, gelap dan tak ada siapapun kecuali dirinya dan Aire. Namun, demi menerangi penglihatan si gadis, ia berjalan lewati sosok itu tanpa mengatakan apapun, membuka jendela.
"Tidak usah banyak bertanya, cari saja buku galeri berdarah."
Aire mengangguk, perlahan kaki rampingnya berjalan menyusuri rak-rak buku tinggi, mencari keberadaan buku sejarah itu. Menit demi menit berlalu dengan sepi, sesekali gadis itu mengeluarkan permen dari mulut, melambaikan benda manis itu sembari mengejek Shall dengan menjulurkan lidah.
Hanya mencari buku sungguh membosankan. Lagipula, bukankah Shall memang suka bermain? Begitulah yang selalu pria iblis itu bisikan pada Aire.
"Shall, ayo bermain lebih sering," ejek Aire.
Dikeluarkannya satu permen lain dari dalam saku, tetapi Shall sama sekali tak tertarik dengan yang satu itu. Tatapannya terkunci pada bibir Aire yang sibuk mengemut benda manis itu.
Seolah terhipnotis, ia datang mendekat dalam satu kedipan mata, menangkup kedua belah pipi Aire. Tatapannya begitu dalam, dan dingin, dua lengan yang menahan pipinya, buat gadis itu terpaksa bertatapan dengan Shall.
"Baiklah, permainanku akan menjadi selembut dan semanis permen," bisik Shall.
Aire menggeleng pelan, ia ingin tau sampai di mana batasan Shall. Pria iblis itu licik, tetapi Aire juga bisa menjadi lebih licik. Sifat asalnya yang sama seperti gadis masa lalu bernama Eria itu masih melekat dalam dirinya bahkan setelah bereinkarnasi.
Manik mata Aire membola, kala Shall memeluknya dari belakang, meniup pelan cuping telinga nya dengan lembut nan dingin. Aire bergidik, merinding. Tubuhnya menegang seketika, kala jemari kekar pria iblis itu menyusuri lehernya. Gadis itu memejam erat, sadari bahwa ia salah memprovokasi Shall.
"Hentikan," lirih Aire sembari menggeleng pelan.
"Tidak ada kata berhenti sebelum kita menyelesaikannya."
Aire terhimpit di antara rak buku dan tubuh Shall. Dengan susah payah gadis itu meneguk ludah, memalingkan wajah ke samping. Sekali lagi, Shall memegang dagunya, mempertemukan tatapan mereka dengan paksa.
Jantung berdetak sangat cepat, Aire yakin, Shall dapat menyadari betapa kacau ia saat ini. Dengan wajah semerah tomat, tubuh sedikit bergetar kala pria iblis itu mendorong tengkuknya, mengikis jarak antar keduanya.
Entah keberapa kali, keduanya jatuh dalam sebuah ciuman. Aire tau, sudah berkali-kali. Seperti itulah iblis, bermain dengan lembut, tetapi menjadi sangat berbahaya pada akhirnya.
Permen berpindah dari mulutnya, bersamaan dengan lutut yang terasa lunlai. Tulang-tulang seakan meleleh akan rasa hangat pada tubuh dan hatinya.
"Shall, aku merasa, seolah bunga-bunga tumbuh di sini." Aire menunjuk dada, tepat pada jantung yang seolah ingin memberontak keluar.
"Dasar, manusia payah," decak Shall. Pria iblis itu sibuk mengemut permen dalam mulutnya, memperhatikan setiap rak, sejenak abaikan Aire masih duduk sembari memperhatikannya.
Beberapa menit berlalu, Aire hanya duduk dan memperhatikan rak bagian bawah. Hampir seluruh rak telah mereka periksa, tak ada tanda-tanda galeri berdarah di sana. Gadis itu menghembuskan nafas panjang.