Don't Make It a Wrong Place

Vyas Cornanila Wahana Putri
Chapter #1

Wrong Causality

Oblige as a sister; shame I perform it poorly


Bunyi klakson bersahut-sahutan menarikku kembali pada kenyataan. Jalan bypass mulai tampak tajam dan punya warna yang vibrant. Aku segera menarik gas dan melaju melewati lampu lalu lintas yang kini berwarna hijau.

Sudah dua minggu aku membujuk Kak Dimens untuk keluar dari kamarnya dengan berbagai cara, dari yang paling lembut seperti menyanyikan Safe and Sound yang ditulis Taylor Swift dan The Civil Wars untuk The Hunger Games sampai yang ekstrem seperti menggedor pintu sambil menendanginya, tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Aku memutar rekaman suara kami waktu menyanyikan lagu rock secara gila-gilaan di malam ulang tahun Ali yang ke-15, membacakan keras-keras isi The Elegant Universe yang sengaja kubeli hanya untuk pamer padanya, membawa hasil olahan kerang simpingku yang pertama untuknya karena dia sangat menyukai kerang simping, meneriaki namanya dari teras belakang di lantai satu dan dua, mengiriminya pesan dan menghubunginya tanpa jeda. Aku menjungkirbalikkan duniaku demi bisa menemuinya barang sedetik saja. Tapi dia tidak menanggapiku sama sekali.

Setiap kali mengingatnya, kesedihanku selalu terbarui. Seperti ditusuk lagi dan lagi oleh orang terdekat yang sangat kupercayai. Dan pada kenyataannya, dalam makna konotatif, Kak Dimens memang melakukannya padaku.

Surat hasil tes itu keluar dua minggu lalu dan sejak saat itu, Kak Dimens mengunci dirinya di kamar, hanya mau menerima kebutuhan primer yang diantarkan oleh Buk Laras. Aku tidak mengerti kenapa, tapi dia menolak kunjunganku dan Papa. Kami mati-matian cuma mau bicara saja dengannya—atau dalam kasusku bertatapan saja untuk menyuarakan dukunganku padanya.

Aku menghela napas sambil memandangi sekitar. Kendaraan kembali berjajar rapi di balik Lampu Lalu Lintas Nomor Dua, begitu aku menyebutnya dengan Kak Dimens. Kami menomori setiap lampu lalu lintas di jalan bypass sekeluarnya dari kompleks perumahan kami yang sejalur dengan sekolah. Di sini terpampang papan raksasa yang kali ini menampilkan iklan sunblock. Kilau cahaya matahari siang memantul di kap mobil, badan motor, permukaan papan iklan, dan menyegarkan warna dedaunan tanaman di tengah pembatas jalan.

Dulu, aku dan Kak Dimens akan berkumpul di ruang tengah rumah untuk bertukar gosip. Kamu masih ingat Liliana? Kakak kelasmu yang ngajarin kamu ciuman itu? Ya! Dia. Dia nikah sama model Prancis, Mats! Makin seksi dia sekarang. Kami senang sekali mempertukarkan cerita dari sekolahku dan kampusnya. Aku menganggapnya sebagai kegiatan rutin untuk melepaskan penat dan caraku menjangkau dunia dari mata Kak Dimens.

Dia sudah tidak lagi mau menyahutiku, tapi aku tetap saja menceritakan padanya tentang hari-hariku di sekolah. Dan sekarang telah memasuki libur semester genap yang lamanya sebulan penuh. Kalau hanya berdiam di rumah saja, apa yang akan kuceritakan pada Kak Dimens?

Aku harus memikirkan suatu tempat untuk dituju atau suatu kegiatan untuk dilakukan agar Kak Dimens juga bisa tetap mendengarkan kabar dunia melalui telingaku.

Tatapanku jatuh pada akses jalan di depan kiri sana. Perempatan besar di depan tampak berbeda. Butuh waktu lama bagiku untuk menyadari ada satu jalan tambahan di sebelah kiri. Dan setelah kuperhatikan lagi, itu ternyata bukan rute baru, melainkan jalan masuk sebuah pom bensin.

Pom bensin ini dibangun sejak tahun-tahun terakhir kehidupan Mama, begitu kata Papa. Tapi mereka menutupnya saat aku masuk SMP. Berdasarkan kabar yang beredar, pom itu bangkrut karena semua pegawai mencurangi sistem, mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri, dan masyarakat yang mulai menyadarinya pun melakukan demo. Kak Dimens yang menceritakannya padaku, dia mendengarnya dari teman-temannya di masa sekolah dulu.

Sebelum ini, lembaran-lembaran seng merah dan putih menutupi jalan masuk pom, dibuat setinggi mungkin agar tidak ada yang penasaran dan nekat melihat ke dalam. Tapi hari ini, aku menepikan motor di depan jalan masuknya yang terbuka lebar.

Pom ini punya halaman yang luas sekali, mesin SPBU-nya ada empat. Kanopinya seolah hampir menyentuh langit biru, tapi dia mencemari udara di sekitarnya dengan pendar debu kotor, seperti serbuk ingus. Mereka sepertinya membuka kembali akses pom ini tanpa berniat sama sekali merenovasi kemuraman ataupun membersihkan pasir yang menyelimuti lantainya.

Orang-orang yang berbaris di belakang lampu lalu lintas tak mengacuhkan pom tua ini. Mereka menunggu lampu hijau dengan jemu. Sesekali ada yang menoleh ke sana, tapi segera mengawasi jalanan di depan mereka lagi. Karena itulah aku terkejut melihat motor skuter besar yang baru saja melintas di dekatku melaju memasuki pom dan memilih mesin SPBU paling kanan yang dekat dengan jalan raya.

Seorang pegawai yang tadinya tidak kulihat ada di mana pun muncul dari balik mesin SPBU dan mencabut nozel lalu mengulurkannya ke tangki motor. Topi merah yang dikenakannya punya lengkungan lebar dan dia menggunakannya terlalu turun sehingga menutupi wajahnya. Jadi, wajah laki-laki pemilik motor itulah yang kulihat. Dia berkacamata, tampak tipis seolah tangkainya hanyalah kawat. Wajahnya panjang dan kurus, tapi hidungnya besar. Dia melepas helm hitam bulat; seketika rambut hitamnya yang lebat mencuat di sana-sini.

Dan sejak tadi dia masih terus mengamatiku. Atau mungkin mengamati barisan motor di belakang lampu lalu lintas.

Aku pun tersenyum. Ini akan menjadi kabar segar untuk Kak Dimens.

Lampu hijau akhirnya menyala. Aku lantas mengambil haluan ke kanan untuk kembali bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.

Lihat selengkapnya