You could only gaze at the world as if you craved to peel it off like an orange
Setelah menjelajah media sosial dengan tekad kuat untuk menemukan suatu rutinitas yang bisa kulakukan selama libur semester, bahagia sekali rasanya aku ketika melihat poster program berjudul "Dapur dan Makan Bersama" yang diselenggarakan oleh Blindly Taste, sebuah restoran nusantara yang terletak di salah satu percabangan jalan Lampu Lalu Lintas Nomor Dua. Jadi setidaknya lokasi kegiatan itu tidak jauh, mungkin hanya berjarak sekitar 7 km saja dari rumah.
Awalnya aku merasa waswas karena bisa saja salah satu peserta yang mendaftar ternyata adalah teman sekolahku, tetapi betapa leganya aku menjumpai wajah-wajah turis mancanegara yang mendominasi program ini. Mereka adalah sekumpulan manusia yang tidak mengetahui latar belakang kehidupanku dan tidak akan memaksaku untuk melakukannya. Kami bertukar informasi mengenai negara masing-masing.
Gunakan jebote, Noah! untuk bilang berengsek kau, Noah! itu kata Matija dari Serbia.
Hei, aku tinggal di utara bagian tengah India, dan di sana cuma ada musim panas, musim hujan, dan musim dingin tanpa salju. Jadi aku sama sepertimu, belum pernah lihat salju, yang ini kata Jai.
Tapi aneh maksudku adalah ... pokoknya kalau kau punya kesempatan untuk menyusup dalam komunitas penulis kami, kau bakal muntah. Manusia berubah jadi ikan, larva lalat tumbuh dalam tubuh manusia, jari tumbuh di dinding. Seperti itulah. Kami penulis Norwegia sudah punya reputasi. Di balik kacamata kotak berbingkai tipisnya, Bo mengedipiku.
Jangan bilang kau tidak tahu bahwa negaraku adalah produsen kopi nomor dua setelah Brazil? Oh, ayolah, Matra, kau harus mencoba bạc xỉu, aku yakin kau akan menyukainya, sangat-sangat suka! kata Anh sambil menggelayuti lenganku.
Dalam budaya Luo, Rafiki, kalau kau datang dari kota untuk mengunjungi saudaramu yang tinggal di pedesaan, kau akan diperlakukan bagai keluarga kerajaan. Asilia memberitahuku.
Percakapan-percakapan informatif seperti ini kami lakukan saat sedang berbelanja bahan-bahan masakan, mengiris bawang, membersihkan ikan, mencuci wajan, mengemas makanan dalam kotak, dan berjalan kaki mencari orang-orang yang membutuhkan bantuan dari kami di jalanan. Atau ketika kami punya waktu kualitas bersama, benar-benar penuh senda gurau dan percakapan, yaitu setelah tugas selesai dan kami makan malam bersama di taman Blindly Taste.
Pukul delapan malam, aku sudah sampai di rumah. Setelah mandi, aku bergegas ke lantai dua. "Duggan mulai manggil aku Meter karena Matra bikin lidah mereka salto," kataku pada pintu yang tertutup. "Duggan itu si fotografernya tim, Kak Dimens inget ceritaku, kan? Dia sebenarnya suka banget bersihin jeroan ikan jangki yang dimasak buat lauk hari ini, tapi karena dia satu-satunya dokumentator yang mendaftar, dia jadi nggak bisa bantuin kami masak lama-lama. Katanya jangki-jangki itu ngingetin dia sama kakap merah yang biasanya kena pancingnya di Pantai Ormond. Sebenarnya dia belum kangen Florida, tapi dia senang bisa nemuin satu-dua kesamaan Bali sama Florida."
Aku maju selangkah dan memukul daun pintu menggunakan kepalan tangan. "Aku suka cara Asilia manggil aku Rafiki, yang artinya teman dalam bahasa Swahili. Dia tadi cerita, sebenarnya dia seneng banget setiap berkunjung ke rumah nenek dan kakeknya di Kisumu, tapi perjalanan ke sana dari Nairobi makan waktu delapan jam. Karena dia anak tunggal, dia pun kebagian kursi belakang yang luas. Jadi, dia cuma mau bangun tidur kalau udah sampai aja."
Tidak ada jawaban tidak menghentikanku sama sekali. Aku berbalik dan menyandarkan punggung pada pintu. "Kalau Kak Dimens mau tahu kerangka kegiatan kami, nanti aku kukirimin rundown acaranya. Dan dokumentasi kegiatan itu bisa Kak Dimens lihat di akun komunitasnya Blindly Taste di Instagram, Tiktok, dan Facebook. Coba lihat Anh, Asilia, dan Duggan, mereka cantik-cantik sekali. Mereka berasal dari tiga benua berbeda dengan warna kulit berbeda juga, tapi mereka seakrab kakak beradik kandung. Admin Blindly Taste menandai akun Instagram mereka bertiga, Kak Dimens. Coba lihat satu per satu. Setiap hari selama sebulan ini, sama merekalah aku bertukar cerita. Aku nggak lupa ngungkit soal kamu ke mereka. Kubilang kamu adalah drummer terpayah yang aku kenal. Karena ... drummer apa yang tiba-tiba masuk Jurusan Teknik Perkapalan? Drummer paruh waktu kalau kata Asilia. Drummer swasta kalau kata Anh. Drummer labil kata Duggan."
Aku tergelak dan merasakan punggungku merosot perlahan-lahan di pintu hingga bokongku menghantam dinginnya ubin. "Mereka sering banget minta aku nyanyi, tapi kubilang cuma bakal nyanyi kalau diiringi sama tepukan drumnya kakakku. Mereka pasti nggak akan nyangka suaraku rock banget kalau dipakai nyanyi, Kak Dim. Badan sekurus ini bisa ngeluarin suara yang full power gitu, kayaknya mereka harus siap-siap kena serangan kaget."
Dan dia tidak akan menyahut sekarang, besok, lusa, tahun depan atau sampai batas waktu yang ditetapkan kebisuan semesta. Karena hanya Tuhan sendiri yang tahu apa yang tengah dia lakukan saat ini di balik pintu.
Akhir Juli diserbu angin kencang. Dan mendung terus mengancam walau tidak setetes pun hujan mau mengguyur. Awan-awan kelabu tampak seperti membawa beban sebesar Bumi dan membuntuti semua orang pergi ke mana pun. Aku sampai di sekolah setelah membungkus tubuh dengan dua luaran, sweter krim dan hoodie putih.
Kelas baruku masih senggang. Belum banyak murid yang datang dan karena ini hari pertamaku masuk di kelas sebelas, aku bebas memilih kursi mana pun yang kumau. Denta dan Mily mendongak dari sesuatu yang sedang mereka tonton bersama di ponsel entah milik Denta atau Mily. Mereka tersenyum dan menyapaku. Tahun ini mereka memutuskan untuk duduk sebangku lagi, tetapi berpindah lebih ke tengah dari dinding pintu dan mundur dua meja.
Aku belum mendengar omongan-buruk-diam-diam apa pun dari mereka sehingga ingin memercayai betapa senyum dan sapa mereka itu memang tulus, bukan sekadar basa-basi yang busuk. Mereka adalah dua dari segelintir teman yang tidak berasal dari SMP yang sama denganku dan Kak Dimens, tetapi mereka sudah pernah melihat Kak Dimens yang ramah waktu kami masih semester satu dulu. Waktu itu aku belum memiliki SIM sehingga harus diantar dan dijemput oleh Ayah atau Kak Dimens.
Tahun lalu aku duduk di deretan tengah, baik dari dinding maupun dari papan, tapi sekarang aku tidak lagi mau berdiri di tengah apa pun kalau hanya untuk dijadikan sasaran telunjuk.
Setelah menghantamkan ransel di meja, aku duduk bersandar dengan punggung tegak di kursi, menatap papan putih sambil memikirkan sore itu, ketika teman-teman Kak Dimens berkunjung dan menjadikan kamar Kak Dimens sebagai markas mereka. Aku memijat-mijat dahi dan mataku pun terpejam. Dari sanalah semua kemalangan ini berlangsung, betapa yakinnya aku. Mataku terbuka, saat itu Lindu yang lebih kurus 500 kg dariku masuk kelas dan langsung menyosor mejaku. Duduk di barisan terbelakang memang seperti mengundang kehadiran Lindu. Dia tidak akan peduli duduk dengan siapa, dia hanya peduli duduk di mana. Itu sudah seperti kursinya.
Kami cuma bertukar tatapan dan saling mengangkat alis saja sebagai kesepakatan, tepat sebelum bel masuk berbunyi dan kelas Sejarah pun dimulai.
Bel sekolah yang keras membuatku terlonjak di kursi. Jantungku berdebar-debar sewaktu mataku terbuka. Ternyata kantuk berat Lindu menulariku hingga jatuh tertidur. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah sebelum menyantap bekal yang dibawakan oleh Buk Laras di kelas. Hari ini aku merancang agenda untuk menemui Pak Gibran di ruang konseling. Setelah meringkasi kembali kotak bekal, aku turun ke lantai satu dan menyeberangi halaman parkir motor untuk mencapai kantor guru. Ruangan Pak Gibran terletak tepat di depan ruang pengurus OSIS. Aku mengetuk pintu yang memiliki panel kaca vertikal, lalu memutar kenop logam.