I owe you nothing, you can urge me as you please
Soma tiba lebih dulu dariku. Begitu melihatku keluar dari lift di aula, dia mendorong tubuh maju dari dinding yang disandarinya dan berputar untuk berdiri lurus menghadapku. Soma bisa menatap orang seolah-olah dia adalah tembok atau papan setrika. Mantap dan datar tanpa perlu bergerak sedikit pun. Di balik kacamata itu, matanya tampak seperti kulit pistachio yang merekah.
"Teman-teman Kak Matra bener-bener nggak ada yang tertarik sama pameran studi luar negeri?" Dia bertanya begitu aku berada lebih dekat dengannya.
Mereka mungkin tertarik kalau bukan aku yang menyebarkan informasinya. "Aku nggak kasih tahu siapa pun."
Kedua alisnya yang setipis jarum terangkat. "Nggak mau berkompetisi sama banyak orang buat memperebutkan kursi beasiswa ya?"
"Males ngobrol." Aku melaluinya di koridor untuk duduk di depan meja registrasi. Bagaimana mungkin aku bisa tahan melihat teman-temanku berinteraksi denganku, tetapi lewat mata yang bergerak ke kanan dan kiri atau tangan yang meremas-remas, aku jadi tahu bahwa mereka merasa sangat tidak nyaman? Seolah-olah aku adalah pembunuh berantai terkenal yang sedang menanyakan alamat pada mereka.
Soma adalah murid baru di sekolahku, tetapi berita tentang "Penyakit Menular yang Diderita Kakaknya Matra" telah menjadi pengetahuan umum di sana. Kalau dia sengaja mendekatiku hanya untuk mengorek lukaku lebih dalam lagi ... ini. Makan saja kentutku.
Selagi mengonfirmasi alamat e-mail peserta, mengisi nama sekolah, opsi negara tujuan, dan beberapa media sosialku yang lain kepada wanita yang duduk di hadapanku, kurasakan bayangan Soma menjulang di dekat lenganku.
"Itu kode biar aku nggak ngajak Kak Matra banyak ngobrol atau memang Kak Matra nggak akrab aja sama temen-temen sekelas Kak Matra?"
"Dua-duanya?" jawabku sambil menatapnya lalu berdiri di hadapannya. Dagu Soma jadi kelihatan terlalu lancip dari bawah sini, seperti salah satu sudut kapur jahit segitiga. Karena dia cuma diam saja seperti orang yang tertangkap basah dan kehabisan argumen, aku pun berbalik dengan goodie bag jingga pemberian panitia.
Panitia mengarahkan kami untuk memasuki aula. Aula itu seperti tak berujung. Lampunya kekuningan dan remang sehingga menatap ke depan rasanya sama seperti menatap bayang-bayang. Karpet merah di bawah sepatu kami meredam bunyi langkah kaki. Bau ruangannya bercampur-campur antara kue bolu, pisang, parfum, kosmetik, udara AC, dan pengharum ruangan.
Di antara para panitia berseragam kaus jingga, aku berusaha mencari salah seorang yang mirip Soma. Mungkin mata sipitnya, atau rambut hitam lebatnya, atau hidung besarnya, atau tubuh kurusnya. Matra, kamu harus fokus. Tujuanmu kemari adalah untuk berkonsultasi mengenai pindah jurusan dan negara mana saja kira-kira yang akan mau menerima kasus sepertimu. Aku mengingatkan diriku.
Aku tidak pernah terpikir untuk mendalami sains sebelum Dimens sakit. Dialah yang sangat menyukai sains. Katanya, laut sama misteriusnya dengan langit. Kita belum menemukan teknologi untuk membongkar semua rahasia laut sebagaimana teknologi kita belum sempurna untuk mengenali rahasia langit. Laut dan langit, Dimens selalu kesulitan memilih di antara keduanya sampai tiga tahun yang lalu ... dia memutuskan untuk mengambil Teknik Perkapalan karena untuk mengambil Teknik Dirgantara, dia perlu merantau ke Bandung. Dan katanya, "Kalau aku mulai ngoceh soal Hukum Pascal atau planet alternatif Bumi, nggak ada yang mau dengerin aku kayak kamu sama Papa. Nanti aku malah dikirain sinting karena nggak kesampaian jadi ilmuwan. Mending aku di sini aja, mempersembahkan konser buat dua penggemar sejatiku."
Aku lebih menyukai sejarah. Awal mula terjadinya segala sesuatu dan alasan atau penjelasan yang menyertainya. Saat Dimens menceritakan padaku mengenai rentetan observasi yang lahir dari penemuan infrared oleh William Herschel yang karena tak sabar menunggu malam untuk memetakan posisi benda-benda langit, dia pun memperluas waktu eksperimennya dengan meneliti sinar matahari, aku mendengarkan dengan lebih saksama dan mempertanyakan banyak hal sampai kerutan-kerutan kecil terbentuk di mata Dimens ketika dia tersenyum lebar. "Mats, ini kamu penasaran atau mau nyidang aku?"
"Kak Matra." Aku sampai lupa masih berjalan dengannya. Dia mengikuti di sebelahku, berusaha menebak manuverku agar bisa menyamai langkah kakiku. "Aku tahu Kak Matra lagi kebingungan harus konsultasi ke kampus mana lebih dulu, tapi pertama-tama ... sebelum nentuin negara tujuan, bukannya lebih bagus kalau Kak Matra konsultasi soal pindah jurusan dulu di stand perusahaan kakakku?"
Saran Soma membawa kami duduk di barisan antrean yang telah disediakan di depan meja stand. Kebanyakan dari orang-orang yang berkonsultasi menanyakan soal standar penilaian kampus-kampus besar dan terkenal di seluruh dunia dalam menerima mahasiswa mereka. Setiap jawaban yang dipaparkan oleh perwakilan perusahaan konsultasi pendidikan di meja itu bisa didengar oleh orang-orang dalam radius lima meter dari sana. "Itu bukan kakakmu yang ngomong?"
"Kakakku cewek."
"Oh."
"Dia nggak hadir di sini."
"Oh."
Setelah kuperhatikan lagi, pertanyaan yang mendekati soal pindah jurusan pun tidak ada. Aku jadi mengalami dilema. Apakah pindah jurusan ini bukan polemik yang sering dihadapi lulusan SMA?