Don't Make It a Wrong Place

Vyas Cornanila Wahana Putri
Chapter #4

Wrong Wish

He owns one heart he divides into two, but I can't even sense my part


Kantor konsultan pendidikan luar negeri itu menampung banyak orang kebingungan di aula tunggunya yang nyaman. Aku duduk di sofa jingga sambil memandangi anak-anak yang datang bersama kedua orang tua mereka atau salah satu saja di antaranya. Mereka berbicara mengenai kurikulum Cambridge, universitas ternama, durasi perkuliahan, dan jurusan menggunakan bahasa Inggris.

Kakiku menepak-nepak ubin besarnya yang memantulkan bayangan diriku. Aku tidak berharap bisa datang dengan Papa. Pada kenyataannya, aku tidak tahu harus mengharapkan apa. Kalau Papa sampai mengetahui rencana perkuliahanku, tak terbayang olehku reaksi putus asa seperti apa yang akan diperlihatkannya.

Namaku akhirnya dipanggil. Aku sudah membuat janji temu sekembalinya dari pameran studi luar negeri dua hari lalu. Konsultan di dalam ruangan memaparkan tentang sistematika tes psikologi beserta rincian biayanya dan napasku langsung tersekat.

Dengan uang sebanyak itu, mustahil aku bisa tidak melibatkan Papa. Aku bertanya apakah mungkin untuk melewatkan tahapan tes psikologi ini dan langsung saja mendiskusikan masalah kredibilitas kampus, jurusan yang bisa kuambil yang berhubungan dengan medis sehingga aku bisa melanjutkan ke sekolah medis nantinya, serta biaya administrasi kampus dan kehidupan di negara tujuan. Jawabannya adalah bisa saja sebenarnya, tetapi bagaimana kalau sudah setengah jalan dan aku baru menyadari bahwa aku ternyata bukan seseorang yang sanggup ditempatkan di bidang medis? Apalagi awalnya, aku tidak memiliki intensi di bidang tersebut. Semua itu bisa saja terjadi karena munculnya motivasi temporer.

Aku ingin memaki konsultan di depanku, berkata padanya bahwa kesehatan Kak Dimens tidak pantas disetarakan dengan motivasi temporer, tapi langsung sadar bahwa ... tidak semua orang mengetahui masalahku ini. Banyak yang sudah mengetahui tentang penyakit Kak Dimens di sekolahku, tetapi konsultan ini bukan orang yang tinggal di lingkungan sekolahku.

"Dan bagaimana seandainya ... aku memang tidak cocok mengambil medis? Apakah kalian akan menyarankan bidang terdekat dengan medis yang cocok untuk kutekuni?"

Si konsultan dengan matanya yang tajam langsung mengangguk. "Itulah alasan kami meminta kamu mengambil tes psikologi, Matra, supaya kami mengetahui tipe kepribadianmu. Data hasil tes itu nantinya masih akan didukung dengan hasil belajarmu di sekolah. Dari sanalah kami akan memberikan masukan mengenai bidang apa yang cocok untuk kamu tekuni."

"Dan bagaimana kalau aku tetap ingin mengambil medis?"

"Setelah hasil tesnya keluar, kita akan bisa mendiskusikan tentang itu. Bidang apa yang cocok untukmu yang paling mendekati medis, seperti yang tadi kamu minta."

Aku keluar gedung konsultasi sambil mendaftarkan lembaga penyedia beasiswa nasional dan internasional di kepala. Aku perlu bertindak nekat nanti seandainya Papa tidak bersedia mendukung keputusanku untuk berkuliah di luar negeri. Papa bisa berhenti pesimis. Kak Dimens akan panjang umur. Kami hanya harus menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan pengobatan. Kemudian, aku akan pulang dari luar negeri sebagai seorang tenaga medis yang akan menjamin kesehatannya seumur hidupnya. Sampai dia meninggal karena termakan usia, bukan termakan virus jahat yang menginfeksi tubuhnya.

Pukul lima sore, Papa sampai di rumah. Aku sedang menyantap puding roti cokelat buatan Buk Laras yang baru kukeluarkan dari kulkas ke meja makan. "Matra," sapa Papa sambil menendang lepas pantofel. Jas hitamnya terlipat di siku tangan. Papa bisa saja datang ke showroom-nya sendiri dengan pakaian kasual, tapi dia memang tipe orang yang senang tampil formal.

"Puding?" Aku menawarkan. Papa tersenyum. Bibirnya sepucat dan setipis aku, tapi rahangnya kotak sekali seperti Kak Dimens. Dia menghampiriku untuk mengecup puncak kepalaku.

"Nanti, Sayang. Harus mandi dulu." Dengan begitu, Papa menghilang ke kamarnya yang berdampingan dengan kamarku, tepat di belakang ruang tamu, hanya berbataskan partisi rak kayu.

Aku berusaha menghabiskan potongan puding sambil mengulang-ulangi kalimat permintaan yang mau kusampaikan pada Papa. Papa hampir tidak menyukai ide anaknya bepergian jauh darinya dan sekarang aku menggagas untuk berkuliah di luar negeri. Ada kemungkinan Papa akan langsung menolak permintaanku. Dadaku sudah rusuh, seperti ada satu ton pasir yang berpusar-pusar dan mengotori ruang di sana.

Sepuluh menit kemudian, Papa keluar dari kamarnya membawa wangi sabun apel. Rambutnya dimodel spike. Dia selalu gagal bertingkah seperti berandalan formal, tapi tak pernah sekali pun punya niatan untuk menyerah.

Aku bergegas ke kulkas untuk mengambilkannya sepotong puding. Pa, aku sudah menyusun rencana untuk kuliahku. Aku berniat mengambil medis. Dan harus di luar negeri karena standar pendidikan dokter di Indonesia tidak menerima anak jurusan IPS. Luar negeri, PaIya, Pa, aku akan berkuliah di luar negeri, pergi jauh dari siniDengan pesawat, memakan waktu belasan jam perjalananKumohon Papa mengerti. Aku melakukan semua ini demi menemukan cara paling ampuh untuk menyembuhkan Kak Dimens. Atau paling tidak untuk mencegah orang-orang di dunia ini menderita penyakit yang sama dengan Kak Dimens.

Bisa-bisa Papa langsung menangis sampai pingsan.

Papa duduk di sofa kanvas yang kasar. Buk Laras tak pernah telat menyedot debunya sehingga sofa itu menyerap dengan mudah wangi bunga-bungaan dari penyemprot parfum ruangan. Aku duduk di sebelahnya, menyerahkan sepiring puding.

"Terima kasih, Nak." Dia makan dengan lahap. Meski arlojinya yang berwarna seperti perak melorot berkali-kali di lengannya, dia tidak terganggu.

Aku menghela napas sambil menatap Patrick Star yang mengenakan seragam kantoran di televisi. Papa mengambil remote di sebelahnya dan memindah saluran televisi. Mataku terpejam dan dalam satu keheningan yang menurutku pantas, aku mengatakannya. "Pa, kayaknya aku harus menjalani tes psikologi untuk mengetahui jurusan yang tepat buatku."

"Tes psikologi?" tanyanya. Matanya fokus sekali mengikuti tingkah konyol Patrick dan Spongebob di televisi.

"Aku mau melanjutkan ke medis ...."

"Medis ya? Kok menurut Papa jurusan itu terlalu kalem ya buatmu?"

Lihat selengkapnya