Don't Make It a Wrong Place

Vyas Cornanila Wahana Putri
Chapter #5

Wrong Agreement

Even if they know I'm lonely, they wouldn't give me a hoot


Kalau dia bisa tahu aku TK di mana, mencari kelasku di sekolah ini pasti semudah berkedip baginya. Begitu bel istirahat berbunyi, aku mengeluarkan kotak bekal makan. Hari ini menunya kari ayam, timun segar, dan bayam rebus. Seseorang berdiri di luar kelas, mengawasi ke dalam. Kupikir dia adalah temannya temanku dari kelas lain sebelum kusadari dia tak pernah berpindah posisi. Aku mengangkat pandang dari nasi berkuah di meja dan melihat dia menyandarkan kedua siku ke terali besi putih di belakangnya.

Saat tahu aku menyadari kehadirannya, Soma melambai. Kali ini, anehnya, dengan bersahabat. Aku tidak menemukan wajah penuh penghakiman ataupun penilaian. Dia tahu aturannya. Tanpa izin siapa pun, dia tidak boleh asal memasuki ruang kelas lain, terutama ruang kakak kelasnya.

Aku menghela napas sebelum menyimpan kembali kotak makan yang telah kosong di dalam ransel dan membawa kantung plastik yang tadi membungkus kuah kari ke luar kelas.

"Kak Matra ...." Aku berusaha tetap memunggunginya. Soma kali ini berseru. "Kak Matra, aku minta maaf!"

Langkahku di ambang pintu seketika terbekukan. Aku diam mendengarkan. Anak-anak membuka jendela besar di seberang kelas, membuatku dapat menyaksikan hamparan awan yang bergulung-gulung di kejauhan. Angin menerbangkan rambutku dari depan dan belakang. Aku sampai harus mengikatnya jadi satu dengan tangan sebelum membawa seluruhnya ke bahu kiri. Sejak karet rambut cokelatku hilang beberapa minggu lalu saat mengunjungi rumah Tante Jimy, adiknya Papa, aku tak pernah menyempatkan diri ke toko untuk membeli yang baru.

"Seharusnya aku tahu, menebak sampai sedetail itu bisa membuat seseorang ketakutan. Terutama mereka yang nggak mengetahui kemampuanku."

Kemampuanku.

Aku berbalik dan menatapnya. Kacamata Soma berkilau lagi. Aku menyipit untuk memperhatikan, tapi cepat sekali kilau itu lenyap. Ada sesuatu yang janggal dalam kilaunya. Soma sedang membelakangi langit mendung, lantas dari mana pantulan cahaya itu berasal? "Kemampuan apa?" Aku bertanya.

"Aku bisa menebak fakta-fakta tertentu dari orang-orang tertentu."

Aku salah satunya. Dia memandangiku dengan datar seperti biasanya, tapi suatu perasaan lalu menyelinap dan membuat wajahnya tampak merana. Teman-teman sekelasku berjalan melalui kami. Sedikit curi-curi pandang, tapi tidak berusaha mencampuri. "Siapa tepatnya yang masuk dalam golongan tertentu itu?"

"Auramu berubah makin kuat," dia mengabaikan pertanyaanku, "aku bisa melihatnya berpijar makin pekat, Kak Matra."

Baiklah, aku tahu dia siapa sekarang. "Kamu seorang indigo," kataku dalam suara tiga tingkat lebih rendah. Hebatnya, Soma sepertinya mendengarku karena kedua alisnya terlontar ke atas seperti air mancur. Dan dia berusaha menahan kerutan di bibir, yang sesaat kemudian kusadari sebagai senyuman. "Kenapa kamu ketawa?" Aku menghardik.

"Gak apa-apa," jawabnya sambil terbatuk-batuk ke kepalan tangan. "Cuma ... indigo."

Lihat selengkapnya