Don't Make It a Wrong Place

Vyas Cornanila Wahana Putri
Chapter #6

Wrong Purpose

I'm good at making things still; you need to give up pushing your will on me


Tepat ketika Buk Laras mengepak bekal makanku, Papa keluar dari kamar. Aku bersyukur dalam hati. Kusambar kotak plastik burgundi itu dari meja dan menjejalkannya asal-asalan ke ransel hitamku yang zipper-nya berwarna mirip perunggu, lalu merangkul Buk Laras sebelum berpamitan ke sekolah padanya.

"Matra Sayang?" panggil Papa, tapi suaranya yang padat dan kuat terhambur oleh jarak karena aku mempercepat langkah menuju pintu, membuka, dan membantingnya di belakangku.

Terakhir kali aku menyahuti omongannya adalah hari ketika aku meminta izin untuk mengambil tes psikologi. Dan itu sudah hampir tiga minggu lalu. September dibayangi ancaman badai. Hujan deras datang terlalu awal, tidak seperti jadwal biasanya, yang jatuh pada bulan Januari. Hari-hari segelap hidup di gua dan angin yang berembus seperti serdawa monster yang mengamuk. Aku sampai di sekolah dengan, hampir seperti anak lain yang membawa motor, sedikit kering. Kami melepaskan sepatu dan kaus kaki lalu meletakkannya di bawah meja, berharap benda itu tidak mengeluarkan bau jorok.

Ketika bel istirahat berbunyi, kesannya hampir seperti alarm badai sungguhan karena saat itu hujan deras langsung mengguyur bumi dalam gelombang perak jarum air. Dan entah bagaimana caranya, Soma berhasil sampai ke kelasku dengan hanya permata-permata air yang mendiami rambutnya. Rambut itu melengkung turun dan terbelah di sebelah kanan dahi.

Aku berusaha tidak membayangkan hantu-hantu yang sayang padanya melindunginya sepanjang perjalanan dari kelasnya di dekat kantor guru kemari. "Kita tidak bisa ke perpustakaan sekarang."

Soma menoleh ke belakang. Gelombang perak hujan menyapu secara diagonal. Puncak pohon palem menggeletar. Bunyi setiap tetes yang menghujaninya membentuk harmoni dengan bunyi air yang mengguyur atap. "Aku bisa. Kamu sih nggak," katanya. Dugaanku tentang kesayangan hantu makin kuat. "Tapi hujan deras kayak gini nggak berarti kamu nggak bisa melakukan riset mau kuliah medis di negara mana. Nggak perlu pakai komputer perpus, pakai HP juga bisa."

"Di sini? Di lorong balkon ini?" Suaraku melengking. "Aku nggak mau, layar HP-ku nanti basah!"

"Bawa aku masuk ke kelasmu kalau gitu."

Aku mengernyit. "Kamu nggak perlu ngasih aku masukan soal itu. Nanti aja waktu harus bikin application letter sama esai. Kalau masalah milih kampus, aku yakin bisa sendiri."

Soma menatap antara tajam dan jemu padaku. "Memilih sendiri, ya, dan langsung salah."

"Mana ada yang benar di percobaan pertama."

"Kamu dapat bantuanku. Aku tahu negara-negara yang punya sistem pendidikan terbaik di dunia. Kakakku terlalu sering cerita soal negara yang jadi tujuan pelajar-pelajar di dunia. Teknik, medis, sains, kehutanan, aku bahkan tahu negara yang unggul di bidang-bidang itu."

"Bukan berarti kamu ahli banget sampai bisa jadi salah satu konsultan akademik yang tahu aku harus ambil medis beneran atau nggak dan kalaupun nggak, memangnya kamu tahu aku harus ngambil apa?"

"Setidaknya aku jauh lebih paham daripada kamu. Aku tahu sebenarnya kamu sangat tertarik sama sejarah, Kak Matra. Seandainya tes psikologis nanti menunjukkan kamu nggak cocok di bidang medis, coba ambil sejarah."

Mataku memicing. "Sejarah?"

Lihat selengkapnya