---Haruna---
“Ah, hari yang membosankan!”
Aku kembali menggerutu saat harus pulang kembali ke Indonesia. Padahal aku dua tahun lalu sudah pulang ke Indonesia, tapi sekarang malah kembali lagi ke sini. Menurutku, Kyoto itu lebih menarik daripada kota ini. Ya, walaupun memang secara budaya sudah beda sih. Tapi, aku memang lebih memilih untuk menetap di Kyoto dan menghabiskan liburan kenaikan kelas di sana. Untung saja tempat tinggal orangtua-ku di Indonesia itu dekat dengan pantai. Jadinya, aku bisa bermain di sekitar pantai. Walaupun begitu, setiap hari main ke pantai juga tentu membosankan. Hasilnya, aku kembali mengeluh untuk hari ini.
Aku akhirnya menghabiskan hari dengan kembali menuju pantai. Dipikir-pikir, pantai ini cukup indah juga. Pasir putihnya cukup luas dan juga suara ombak begitu terasa. Angin laut juga berhasil menerpa wajahku, membuat aku merasa tenang kembali. Selain itu, suasana pantai ini berhasil membuatku relax. Suatu pemandangan yang tentunya akan jarang aku temui ketika tinggal di Kyoto, di mana isinya lebih banyak dengan berbagai macam budaya Jepang.
Aku kemudian melangkahkan kaki di sepanjang pantai ini. Aku sudah pernah beberapa kali bermain di pantai. Tapi, pantai ini terasa lebih menarik. Tidak terlalu ramai seperti pantai pada umumnya. Atau jangan-jangan karena bukan masa liburan ya? Aku baru teringat bahwa libur kenaikan kelas di Jepang itu umumnya di pertengahan Maret hingga awal April. Tentu tidak bersinggungan dengan masa liburan di Indonesia, jadi tempat ini tentu tidak begitu ramai dikunjungi turis. Meskipun begitu, aku senang karena bisa berkunjung ke tempat yang tidak terlalu banyak orangnya. Kyoto adalah salah satu tempat wisata di Jepang. Karena itu, Kyoto selalu ramai di sepanjang tahunnya. Apalagi jika sudah masuk masa liburan, lautan manusia terlihat di mana-mana. Jadi, selagi aku bisa menikmati pantai yang sepi ini, ditemani dengan suara ombak alami dari laut, aku ingin menghabiskan waktu liburanku seperti ini saja.
“Loh, ada cowok di sini?” Saat sedang menyusuri sisi pantai, aku sedikit terkejut ketika melihat ada seorang anak laki-laki sedang duduk menatap laut yang ada di depannya. Seingatku, aku tidak pernah melihat ada anak laki-laki seumuranku selama aku bermain di sini beberapa hari ini. Meskipun begitu, aku tetap senang karena bisa melihat anak laki-laki seumuranku di sini. Lagipula, ia terlihat cukup keren, meskipun aku baru melihat dari belakang punggungnya saja.
Perlahan, aku berusaha mendekati anak itu. Saat sudah berada di dekat anak itu, aku kemudian memutuskan untuk menyapanya. “Halo. Nama kamu siapa?”
Aku berusaha terlihat ramah agar tidak membuat anak itu ketakutan. Tapi, reaksi yang aku terima darinya sungguh di luar dugaan. Ia hanya menoleh ke diriku sekilas. Tanpa ekspresi. Setelah itu, ia kembali menatap laut yang ada di depannya. Walaupun aku sedikit kaget, tapi aku tidak mau menyerah. Masa begitu aja aku udah menyerah, kan tidak menarik, pikirku.
Aku pun kemudian duduk di sampingnya. Setelah itu, aku menoleh ke arahnya. Anak itu masih tetap memandangi laut yang ada di depannya. Dari samping, terlihat bahwa anak ini cukup tampan. Rambut pendeknya itu bergerak mengikuti angin laut. Sementara itu, matanya terlihat sedikit sayu. Aku merasa ada aura kesedihan di dalam mata itu. Tapi, aku mencoba tidak mau ambil pusing. Siapa tahu dengan kehadiranku, anak ini bisa tersenyum kepadaku.
“Nama kamu siapa? Kalau aku, Haruna Tachibana.”
Ya, ternyata dia tidak bergerak sama sekali. Sepertinya aku harus mengeluarkan usaha ekstra untuk bisa mengajak anak ini berbicara. Dia sepertinya anak yang pendiam. Jadi, aku ingin berusaha mengajak anak ini mau berkomunikasi dengan aku.
Saat aku sedang sibuk berpikir mengenai cara yang tepat untuk mengajak dia berbicara, tiba-tiba cowok ini berdiri. Aku menjadi sedikit panik. Tapi, dia sepertinya memang tidak peduli dengan aku. Buktinya, dia langsung pergi meninggalkan aku tanpa mau repot-repot menoleh. Hmm, menyebalkan. Apa jangan-jangan dia merasa kalau aku itu menganggu? Namun, bukan Haruna namanya kalau langsung menyerah begitu saja. Aku yakin pasti akan ada caranya untuk mengajak anak itu berbicara.
Sebentar. Saat aku mengingat kembali raut wajah anak itu dari samping, sepertinya ada aura kesedihan di sana. Apa yang sebenarnya terjadi ya? Sepertinya aku merasa perlu untuk membuat anak ini berbicara kembali. Semangat itu yang ingin aku berikan ke anak itu. Lagipula, hari ini sepertinya aku tidak bisa bertemu dengan anak itu lagi. Jadi, aku punya waktu lebih untuk memikirkan bagaimana caranya untuk mengajak anak itu berbicara denganku.
*****
“Aku duduk di sebelah kamu ya?”
Hih. Lagi-lagi dia tidak merespons pertanyaanku. Setelah itu, tanpa memedulikan jawaban dari cowok itu, aku memutuskan untuk langsung duduk saja di sebelahnya. Toh, dia juga gak menjawab, ya sudah aku anggap saja diamnya itu sebagai iya. Kalau nanti misalkan dia protes, baru aku pindah. Hitung-hitung sekalian membuat anak itu mengeluarkan suara. Ya, semoga untuk kali ini, dia tidak langsung pergi aja kayak kemarin.
“Kamu kayaknya pendiam ya? Kemarin juga aku tanya, kamu gak ngejawab,” ucapku mencoba ramah. Tapi, dia masih diam saja. Duh, aku harus bicara apa lagi ya biar mau menengok ke arahku?
“Kamu di sini lagi ngapain? Liburan kah? Aku gak pernah lihat kamu sebelumnya di sini,” tambah aku lagi, berusaha menarik perhatian anak itu. Sesaat kemudian, aku mendengar helaan napas kasar dari anak itu.
“Menganggu,” ucap anak itu. Ia juga langsung bangkit berdiri saat berkata demikian. Tapi, aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu kasar. Malah, aku menjadi semangat karena anak itu akhirnya berhasil mengeluarkan sebuah kata setelah dua hari aku menghampirinya. Tentu ini adalah sebuah kemajuan. Karena itu, aku yakin, pasti aku bisa membuat anak itu mau berbicara kepadaku.
“Aku akan terus menemui kamu sampai aku bisa mengobrol dengan kamu!” teriak-ku tidak lama setelah ia pergi. Senyumku semakin melebar saat melihat anak itu berhenti sejenak. Pasti dia lagi memikirkan ucapanku, pikirku lagi. Ia kemudian terlihat kesal dan bertingkah seperti hendak membuang ludah kesal. Setelah itu, ia berjalan pergi meninggalkanku.
*****
Aku benar-benar ingin membuktikan ucapanku. Beruntung hari ini aku bisa melihat cowok itu kembali ke pantai. Itu artinya, aku masih ada peluang untuk membuatnya bicara. Lain cerita jika ia sudah tidak datang, tentu saja itu berarti aku sudah tidak punya kesempatan lagi.