---Haruna---
Sudah beberapa hari ini aku bermain dengan Jonatan. Ternyata, anak itu tidak se-dingin yang aku kira. Dari cerita Jonatan, yang akhirnya bersedia untuk bercerita kepadaku, ia sedang berduka karena kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan. Sepertinya karena saat itu ia sedang bersedih saja, jadinya Jonatan menjadi pendiam dan juga sedikit ketus terhadap orang lain. Tapi, setelah pendekatan yang aku lakukan bersama dengan Jonatan, dia akhirnya bisa menanggapi aku dengan baik. Jadinya, waktu liburanku ini sekarang dihabiskan bersama dengan Jonatan.
“Hari ini, kita main ke sisi pantai yang belum pernah kita datangin yuk.”
Aku sedikit kaget saat Jonatan mengajak seperti itu. Tidak seperti biasanya ia mengajak aku bermain. Seringnya kan aku yang menyeret Jonatan jika ingin bermain. Meskipun begitu, aku senang karena kali ini Jonatan yang mengajakku bermain. Akhirnya aku bisa merasakan bagaimana menjadi anak yang ikut pergi bersama anak yang punya rencana.
“Kenapa nih? Kok mendadak gitu?” tanyaku kemudian, dengan nada sedikit menggoda. Ingin memastikan niat anak itu yang sebenarnya, walaupun aku sebenarnya tidak terlalu memedulikan hal itu. Jonatan sudah mau mengajakku bermain sudah merupakan kemajuan, alasan di baliknya itu biarlah suka-suka Jonatan ingin menjawab seperti apa.
“Gak apa, lagi pengen aja. Mumpung gua masih ada waktu buat main sama Haruna.”
Tapi, kok ucapannya terdengar sedikit aneh ya? Seakan-akan kalau kami bakal terpisah jauh. Iya sih, aku minggu depan akan kembali ke Kyoto. Apa karena itu ya, jadinya dia ingin menghabiskan waktu selagi masih bisa bersamaku? Ah biarlah, yang penting nanti kan aku masih bisa pulang ke sini dan bertemu anak itu lagi.
Jonatan kemudian mengajak aku berjalan ke sisi pantai yang sedikit sepi. Ini pertama kalinya aku bermain hingga sejauh ini. “Kamu udah pernah main ke sini sebelumnya?” tanyaku. Penasaran juga mengapa anak ini tiba-tiba ingin mengajak aku bermain ke sisi pantai ini.
“Belum pernah. Karena itu, gua mau main bareng sama lo di tempat yang gua sendiri juga belum pernah datangin,” ucapnya. Ternyata ia ingin sama-sama menjelajahi tempat yang kami berdua belum pernah kunjungi. Anak yang unik, batinku. Aku pun mengekor dan berjalan di belakang Jonatan, membiarkan anak itu mengambil langkah di depan.
Saat sedang asik berjalan, aku menghentikan langkahku. Jonatan sepertinya menyadari kalau aku berhenti berjalan. Aku kemudian melihat ke salah satu sisi pantai. Sepertinya baru pertama kali aku melihat bangunan ini. Aku pun berjalan mendekat menuju bangunan itu.
“Wah, di sini ada kuil juga ya ternyata.” Aku sedikit kaget saat mengetahui di salah satu sisi pantai yang kami datangi, terdapat sebuah kuil yang mirip aku lihat saat berada di Jepang. Meskipun kuil tersebut terlihat sudah tidak terurus, tapi aku masih bisa melihat beberapa ornamen yang ada di sana. Jonatan kemudian datang menghampiriku.
“Kuil peninggalan penjajahan Jepang kah?” tanya Jonatan saat menatap bangunan tua ini. Aku menoleh sekilas, terlihat bahwa anak itu sedang mengamati sisi kuil itu. Aku pun hanya mengangkat bahu karena aku juga tidak tahu mengenai tempat ini. Aku baru pertama kali bermain ke sisi pantai ini, jadi aku juga tidak tahu sejarah mengenai kuil ini. Tapi, aku bisa merasakan, memang sepertinya kuil ini sudah cukup lama berdiri di tempat ini. Mungkin benar kata Jonatan, bisa jadi kuil ini dibangun saat masa penjajahan Jepang.
Meski aku benci untuk mengakuinya, tapi aku baru mengetahui mengenai sejarah Jepang di Indonesia saat aku berada di negara ini. Ya, mau bagaimanapun, banyak warga Jepang di negeri itu tidak mengetahui kekejaman perang di zaman dahulu. Karena itu, aku tidak begitu memahami mengenai sejarah pada bagian ini.
Kami pun berjalan kembali. Kali ini, giliran aku yang berada di depan. Saat kami sedang berjalan, Jonatan mendadak menghentikan langkahnya. Aku yang berada di depan Jonatan merasa anak itu tidak berjalan lagi. Aku kemudian menoleh ke arah belakang dan melihat anak itu sedikit kebingungan. Aku bisa menilai itu dari gerak-geriknya. Jonatan terlihat sedang menunduk dan tangannya saling bermain, seolah hendak berpikir ingin mengucapkan atau melakukan sesuatu, namun tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Haruna, ada yang mau gua omongin sebentar.”
Jonatan mengucapkannya sambil sedikit tertunduk. Suaranya terdengar cukup serius. Aku lalu berjalan ke arah Jonatan. Tidak lama setelah itu, Jonatan menaikkan wajahnya dan aku bisa melihat wajah serius Jonatan menatapku. “Mau ngomongin apa?” tanyaku kemudian, memberikan tanda juga bahwa Jonatan dapat mengucapkan kalimat yang ingin ia katakan itu.
“Gua besok harus pindah ke Jakarta.”
Aku sedikit terkejut saat mendengarkan Jonatan berbicara. Pantas saja raut wajahnya itu terlihat sedikit sedih saat ia datang hari ini. Meskipun raut wajah serius tertera di muka Jonatan, aura sedih itu masih bisa kurasakan. “Kenapa?” tanyaku akhirnya. Sebenarnya, masih banyak pertanyaan yang ingin kuucapkan. Sayangnya, hanya ada satu kata yang bisa keluar dari mulutku ini. Pantas saja tingkahnya tadi sedikit aneh. Ia ingin menghabiskan waktu dengan pergi ke tempat yang berbeda selagi masih ada waktu bersama dengan aku. Ternyata ini alasannya. Ia harus pindah ke kota lain, yang tempatnya aku rasa begitu jauh dari tempat ini.
Jonatan terlihat menoleh ke arah lain, seakan tidak berani menatap wajahku. “Gimana ngejelasinnya ya,” balasnya sedikit bingung, seperti tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Aku lalu memintanya untuk tenang dahulu, baru kemudian ia menberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Terjadi hening beberapa saat. Setelah itu, Jonatan mulai menjelaskan mengapa dirinya akan pindah ke Jakarta.
“Om dan tante gua mau ngebawa gua buat tinggal di Jakarta. Sebenarnya, gua bisa aja tinggal sendiri di sini. Tapi, karena beberapa hal di SMA masih dibutuhin wali, dan akan sedikt merepotkan kalau misalkan gua tetap di sini sedangkan om dan tante berada di Jakarta, jadinya gua diputuskan buat tinggal di Jakarta sampai lulus SMA. Baru setelah itu, terserah gua lagi ke depannya mau gimana.”
Aku mendengarkan penjelasannya dengan saksama. Masuk akal juga apa yang dikatakan anak itu. Saat masih SMA, ada saja kegiatan yang membutuhkan orangtua atau wali. Misalnya saja seperti aku di SMA, ada pertemuan antara wali kelas dengan orangtua murid untuk membahas rencana hidup setelah lulus sekolah. Walaupun aku kurang tahu apakah sekolah di Indonesia sama seperti SMA di Jepang, tapi aku bisa mengerti mengenai alasan Jonatan yang satu ini.
Aku kemudian meraih tangan Jonatan, lalu menggenggamnya. Seolah hendak memberikan kekuatan kepadanya. “Tenang aja, Jonatan. Itu mungkin sudah yang terbaik untuk kamu. Kita kan masih bisa bertemu lagi nanti.”
Perlahan, aku bisa melihat senyum dari Jonatan mulai melebar. “Terima kasih, Haruna, untuk semangatnya,” ucapnya. Terdengar begitu hangat, walaupun beberapa saat lalu, aura suram masih terasa dari dirinya itu.
“Yuk, mumpung ini hari terakhir kamu di sini sama aku, kita main dulu ya,” ajak aku lagi. Mumpung aku masih bisa bermain dengan Jonatan, aku ingin memanfaatkan setiap waktu yang ada bersama cowok ini. Hitung-hitung juga menambah memori sebelum kami akhirnya harus berpisah kembali. Jonatan setuju, lalu kami pun melanjutkan keliling lagi di kuil ini.
*****
“Kuil yang indah ya.”