---Haruna---
Aku berjalan setenang yang aku bisa. Berkali-kali aku mencoba menenangkan diri dan mengatakan kepada diriku bahwa tempat ini sudah biasa aku kunjungi, baik ketika aku sendiri maupun berdua dengan Jonatan. Tapi, walaupun aku sudah mencoba menenangkan diri, tetap saja aku merasa sedikit was-was. Terlebih setelah aku membaca tulisan di buku literatur yang mengatakan kuil ini ada menyimpan sesuatu yang rahasia, aku menjadi sedikit takut ketika ingin menjelajahi tempat ini. Ditambah lagi peringatan dari dosenku, pikiranku menjadi semakin tidak karuan.
Ingin rasanya aku berhenti. Tapi, saat mengingat semangat dari dosenku yang tahu bahwa aku pernah mengunjungi tempat ini, aku jadi tidak tega jika harus pulang kembali ke Tokyo tanpa membawa informasi apa-apa. Jadinya, aku mencoba untuk menguatkan diri dan melanjutkan penjelajahan di kuil yang sudah tidak terurus ini.
“Tempatnya masih kayak tahun kemarin ya. Tidak terurus,” gumamku sambil memperhatikan lingkungan sekeliling kuil. Siapa tahu ada yang berbeda, tapi sepertinya sama saja. Cukup berantakan, tapi masih terlihat suasana kuilnya.
“Tulisanku dengan Jonatan juga masih ada ternyata,” sahutku sedikit senang saat tiba di bagian papan harapan. Masih ada papan yang aku dan Jonatan gantungkan saat anak itu masih mengingat aku. Ah, kira-kira gimana ya dia kabarnya? Apa tahun ini dia akan kembali ke Indonesia?
Ah, bermain ke kuil ini jadi mengingatkan-ku beberapa memori yang pernah aku buat di sini. Saat aku senang karena Jonatan mau bermain denganku dan juga saat aku menangis karena Jonatan melupakanku. Apa dia sekarang sudah ingat dengan aku ya?
Aku kemudian teringat kembali dengan janji yang aku buat dahulu dengan Jonatan. “Kalau nanti suatu saat kita berdua ada kesempatan untuk bertemu lagi, jangan lupakan aku ya. Lalu, kalau salah satu di antara kita berdua butuh pertolongan, aku atau kamu nanti bakal saling tolong menolong ya?”
Aku segera menggelengkan kepala saat pikiran bodoh itu datang kembali. “Janji yang hanyalah tinggal sebuah janji,” gumamku sedikit sedih. Dia saja sudah lupa sama aku, bagaimana ceritanya dia bisa tiba-tiba ingat kalau tidak aku ingatkan? Aku bertemu dengannya di dalam mimpi juga kan tidak berarti aku bisa membuatnya ingat. Bisa saja itu hanya khayalanku semata saja yang ingin bertemu dengan Jonatan, tapi tidak tersampaikan di dunia nyata. Jadinya, aku bisa memimpikan anak itu.
Ah, seharusnya aku fokus untuk meneliti apa yang ada di tempat ini. Itu kan sudah menjadi tujuan utama aku ke Indonesia. Jika ternyata nanti aku bisa bertemu dengan Jonatan, ya itu bonus saja. Jadinya, aku berusaha untuk fokus kembali dan kembali mengitari daerah kuil ini.
Sepertinya aku sudah berputar cukup lama. Tapi, mengapa aku tidak bisa menemukan gedung utamanya ya? Perasaan, setiap kuil itu pasti akan terlihat bangunan-bangunannya. Mengapa tidak dengan tempat ini ya?
Saat aku sedang kebingungan mencari gedung yang aku inginkan, pandangan aku terfokus pada jalan yang ada di dekat tempat berdoa. Sedikit tertutup oleh pepohonan jika tidak terlalu diperhatikan. Selain itu, tampaknya seperti ada sesuatu di belakang gedung berdoa, jadinya aku perlu melewati tempat berdoa itu dahulu.
Aku cukup terkejut saat mengetahui ada gedung lainnya di belakang gedung berdoa. Pantas saja tidak terlihat dari kejauhan. Gedung ini dikelilingi oleh pohon, jadi wajar jika aku tidak menyadarinya jika berada di kuil berdoa ataupun tempat permohonan. Benar-benar tempat yang menarik.
Aku kemudian datang mendekat ke gedung itu. Suasana seram juga masih terasa. Halaman depan gedung itu terlihat berantakan, sama seperti di daerah dekat gerbang kuil. Aku lalu melihat ada sebuah pintu yang tertutup dan aku datang menghampiri pintu itu.
Aku kemudian mencoba mengetuk pintu itu. Tidak ada jawaban setelah aku mengetuknya beberapa saat. Aku lalu mencoba perlahan membuka pintu itu. “Gak dikunci?” sahutku saat bisa mendorong pintu tersebut. Aku kemudian melangkah masuk ke dalam dan aku sedikit terkejut melihat isi di dalam bangunan ini.