---Jonatan---
Gua menarik napas dalam saat tiba di pantai. Setelah perjalanan yang melelahkan, memang sudah paling tepat untuk pergi menuju pantai dan memulihkan kembali kondisi fisik. Dengan udara segar khas laut yang belum tercemar, tempat ini memang tepat untuk menyegarkan kembali kondisi tubuh.
Selama perjalanan pulang ke tempat ini, gua terus-menerus berdoa agar diberikan keselamatan dan ketenangan. Terima kasih kepada firasat buruk itu, gua menjadi tidak tenang selama perjalanan menuju tempat ini. Om dan tante gua juga sedikit heran saat melihat kelakuan gua. Untung saja gua bisa sedikit berbohong kepadanya karena gua cuma gugup saja akibat meninggalkan pelajaran untuk ziarah padahal sudah mau ujian nasional. Jika saja gua bercerita mengenai firasat itu, bisa saja mereka berdua menjadi ikut panik.
“Ah, pantai memang yang terbaik,” ucap gua kembali saat bisa menikmati angin laut yang menerpa wajah gua. Tidak mau berlama-lama di rumah, gua langsung pergi ke pantai begitu menaruh barang-barang gua di sana. Gua ingin cepat-cepat bisa menikmati keindahan duniawi ini. Kini, sambil memejamkan mata, gua membiarkan angin itu terus menabrak wajah gua. Terasa begitu menenangkan usai menjalani perjalanan yang cukup menegangkan.
Beberapa kali gua mencoba membersihkan paru-paru gua dengan udara yang ada di sini. Rasanya begitu lega karena di Jakarta gua tidak bisa menarik napas sedalam ini. Jelas saja, polusi udara di Jakarta kan sudah cukup parah. Jika gua menarik napas dalam seperti yang gua lakukan sekarang, pasti gua akan langsung batuk-batuk.
Gua kemudian duduk di tepi pantai. Menikmati kegiatan yang biasa gua lakukan ketika berada di sini. Merenungi hidup sambil menatap ujung laut dan ditemani terpaan angin laut yang tenang. Walaupun gua sudah sering melakukan ini, dan terkadang gua bisa cukup lama hanya duduk diam saja, tapi gua senang setiap kali melakukan ini. Serasa gua bisa me-recharge energi gua sebelum nantinya kembali ke dunia yang kejam di Jakarta.
Ah, karena ujian nasional sudah dekat, gua jadinya tidak bisa berlama-lama berada di tempat ini. Gua hanya bisa tidur tiga malam di rumah gua di sini, lalu hari Minggu nanti gua harus kembali ke Jakarta. Untungnya, di hari Jumat besok adalah peringatan kematian orangtua gua. Jadinya, gua punya waktu juga untuk meliburkan diri di kampung ini.
Maafkan gua ya, Leo dan Revandra. Gua nyolong-nyolong liburan sebentar di sini. Tapi, gua janji bakalan beliin kalian makanan kok, biar kalian bisa juga menikmati rasanya liburan, batin gua sambil sedikit tersenyum. Gua bisa membayangkan bagaimana reaksi dua anak itu ketika mengetahui gua bisa refreshing di tengah padatnya jadwal belajar. Pasti mereka akan marah-marah, namun dapat langsung tenang setelah gua sogok dengan berbagai macam makanan.
“Kamu Jonatan, teman-nya Haruna kan?”
Saat gua sedang asik melamun, gua sedikit terkejut saat tiba-tiba dua orang tua datang menghampiri gua. Kaget karena ritual gua di pantai tiba-tiba dikejutkan oleh dua orang yang mengetahui nama gua. Seketika gua berdiri dan membungkukkan badan di depan mereka.
“Haruna?” gumam gua pelan saat sadar mereka ada mengucapkan nama lain. Untungnya, suara yang gua keluarkan itu cukup pelan sehingga tidak bisa didengar oleh mereka. Tapi, karena gua juga masih kaget karena kedatangan oleh orang yang tidak gua kenal, gua pun mencoba mencari tahu terlebih dahulu, siapa mereka itu.