---Haruna---
“Jo…Jonatan!”
Aku langsung berteriak saat melihat badan anak laki-laki yang aku kenal itu terjatuh. Bagaimana ini? Apa yang terjadi dengannya? Mengapa dia tiba-tiba merasa kesakitan di kepalanya lalu mendadak terjatuh saat melihat papan harapan? Bagaimana cara aku untuk menolongnya?
Aku sadar bahwa aku tidak bisa menolongnya sekarang. Mencari bantuan pun aku juga tidak bisa melakukannya. Karena itu, aku memilih untuk berada di dekat Jonatan, mencoba memastikan bahwa anak itu akan baik-baik saja, sekalipun ia tiba-tiba terjatuh.
“Kayaknya dia pingsan,” gumamku saat aku melihat kondisi Jonatan dari dekat. Aku pun duduk di dekat dia. Saat aku melihat ke arah lainnya di dekat Jonatan, aku tersentak. Kertas-kertas yang dahulu aku titipkan ke mamaku ternyata sudah sampai di tangan Jonatan. “Terima kasih, Mama dan Papa, karena sudah memberikan barang-barang yang aku titipkan ke tangan Jonatan,” ucapku bersyukur karena akhirnya barang-barang yang aku harapkan bisa diberikan ke Jonatan sudah diterima oleh orang yang bersangkutan.
Sudah cukup lama aku duduk di sini, sepertinya Jonatan cukup lama pingsannya. Langit sudah menjadi orange, tanda sore hari sudah tiba. Saat masih merenung dan berharap Jonatan segera sadar, tiba-tiba aku mendengar suara rintihan. Aku menoleh sejenak dan aku bersyukur bahwa Jonatan sudah sadar. Aku pun kemudian bergeser sambil tetap memperhatikan gerak-gerik anak ini.
Saat Jonatan sedang bahagia karena bisa ingat dengan aku, aku tanpa sadar meneteskan air mata. Jonatan pasti sudah mengalami sesuatu hal yang berat, makanya ia bisa sampai lupa kepadaku. Dia ternyata tidak berniat untuk melupakanku. Buktinya, ia begitu senang saat bisa mengingat kembali mengenai kenangan lama yang pernah kami buat bersama. Jonatan juga tampak bisa mengingat kembali mengenai tulisannya di papan harapan. Walaupun aku tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Jonatan selama ini, asalkan anak itu akhirnya bisa mengingat kembali aku, aku sudah tidak apa-apa.
Aku kemudian mengikuti Jonatan yang tengah berkeliling di kuil ini. Saat ia menghentikan langkahnya dan menatap ke langit, aku mendengar bahwa anak itu seperti mengucapkan sebuah permohonan. Aku ikut menatap ke langit dan aku melihat bahwa ada bintang jatuh di sana. Aku pun segera mengucapkan permohonanku.
“Semoga aku bisa dipertemukan kembali dengan Jonatan.”
Hanya itu saja keinginanku saat ini. Tidak lebih. Itu karena aku ingin mengobrol juga dengan Jonatan setelah dua tahun tidak bertemu. Aku tidak tahu apakah Jonatan akan percaya hal seperti ini bisa terwujud atau tidak, tapi setidaknya, aku masih yakin bahwa harapan yang diucapkan di bawah bintang jatuh dapat terkabul. Hanya itu saja yang bisa aku yakini agar dapat berbicara dengan Jonatan kembali. Saat aku mengembalikan pandanganku usai menatap langit, aku melihat Jonatan sudah bergerak kembali.
Sebentar. Itu arah menuju gerbang kuil. Itu artinya, dia sekarang hendak pergi dari kuil ini. Jangan. Aku harus mengejarnya. Aku ingin sekali melihat wajahnya langsung saat bertatapan. Aku rasa, ini adalah kesempatan terakhirku untuk bisa melihat wajah tampannya. Aku pun memberanikan diri untuk memanggilnya. Tentunya dengan cara khas yang biasa aku gunakan jika ingin menggodanya.
“Jonatan-kun!”
Dia tidak berhenti. Apa suaraku tidak terdengar? Tapi, aku melihat dia menggelengkan kepalanya. Apa dia merasa bahwa itu hanya khayalannya saja? Tidak. Aku harus bisa meyakinkannya bahwa ini adalah real. Aku pun memutuskan untuk memanggilnya kembali.
“Jonatan-kun!”
Berhasil. Beberapa saat setelah aku memanggilnya, dia berhenti. Itu artinya, Jonatan merasa bahwa benar ada yang memanggilnya. Lalu, ia pun memutar balik badannya. Aku pun tersenyum ke arahnya saat ia melihat ke hadapanku.
“Jangan lupakan aku ya, Jonatan-kun!”
Setelah itu, aku bisa merasa bahwa Jonatan sedang terkejut. Terlihat dari mimik wajahnya dan juga cara dia memanggil diriku. Aku pun tersenyum. Senang karena artinya, Jonatan benar-benar bisa melihat aku.
*****
---Jonatan---
Gua tidak percaya dengan apa yang ada di depan gua sekarang. Dia. Orang yang dikatakan hilang oleh ibunya kini hadir di depan gua. Awalnya gua merasa gua kembali berkhayal saja. Tapi, dari suara yang berhasil gua tangkap, sepertinya memang benar jika dia ada di sini dan kini muncul di hadapan gua.
Haruna. Benar, dia Haruna. Perempuan pertama yang mendatangi hidup gua ketika gua sedang terpuruk. Perempuan yang bersedia menjadi teman gua di saat gua sedang merenung sedih karena ditinggal orangtua. Dia juga tidak putus asa untuk tetap mendekati gua, sekalipun sikap gua dulu cukup kejam kepadanya.
“Ke…kenapa? Kok bisa?” sahut gua tanpa sadar. Jelas saja gua merasa tidak percaya. Bagaimana bisa gua tiba-tiba melihat orang yang sudah lama tidak gua temui? Pasti ada yang tidak beres. Itu jika akal gua sedang bisa berpikir benar. Tapi, karena sekarang gua hanya fokus kepada anak itu, gua tidak bisa memikirkan hal lainnya, kecuali merasa senang karena bisa melihat Haruna kembali.
“Itu karena aku diizinkan oleh Tuhan untuk bisa bertemu kembali dengan kamu.”
Senyuman Haruna masih terasa hangat seperti dahulu. Gua merasa ikut tenang saat melihat senyumannya itu. Dan juga, saat melihat Haruna tersenyum, gua merasa ingatan gua terbawa kembali ke masa lalu. Sepertinya ingatan gua ini sengaja ingin mempermainkan gua. Baru saja gua bisa mengingat kenangan lama, dia mulai memutar kembali ingatan itu seperti kaset yang dimainkan kembali. Gua memejamkan mata, mengingat kembali bagaimana hari-hari pertemanan gua dengan Haruna dimulai.