---Flashback, Jonatan POV, when Jonatan and Haruna first meets---
Sudah beberapa hari gua bermain dengan Haruna. Ternyata, anak ini cukup menarik juga. Walaupun di awal gua sempat merasa dia menyebalkan, tapi setelah gua bermain sama dia, gua merasa Haruna memang seperti musim semi. Ceria dan mampu memberikan rasa hangat kembali kepada diri gua, usai gua menerima badai karena ditinggal orangtua.
Tapi, gua merasa sedih karena kebersamaan gua dengan Haruna sebentar lagi akan selesai. Gua akan dibawa ke Jakarta sampai lulus SMA. Walaupun gua tahu Haruna juga akan pulang kembali ke Kyoto, tapi kalau gua dibawa ke Jakarta, tentu gua akan semakin sulit untuk bertemu dengan anak itu. Kesamaan kami adalah kami sama-sama punya tempat tinggal di desa ini. Jika gua ke Jakarta, tentu Haruna akan sedikit kesulitan untuk menemui gua di sana. Lagipula, Haruna juga tidak mempunyai kerabat di Jakarta, tentu akan sedikit aneh jika dia pulang ke Indonesia tapi malah beralih ke Jakarta.
Awalnya, gua mencoba untuk menolak usulan untuk pindah ke Jakarta. Gini-gini, gua juga bisa hidup mandiri. Tapi, setelah diberitahu oleh om dan tante gua, bahwa anak SMA masih membutuhkan wali, dan mereka akan sedikit kesulitan jika gua tetap berada di sini, akhirnya gua mengalah. Sepertinya memang benar. Apalagi kalau sudah kelas 12 dan menjelang ujian akhir, pasti ada saja beberapa hal yang membutuhkan persetujuan dari orangtua atau wali. Daripada menyusahkan om dan tante gua, memang lebih baik gua ikut pergi dengan mereka. Toh, hanya sampai lulus SMA saja, setelah itu, gua bebas menentukan jalan hidup gua ingin ke mana. Jadi, cukup setahun saja gua ikut mereka.
Permasalahannya sekarang adalah, bagaimana gua memberitahu Haruna? Walaupun gua secara jarak memang sudah pasti akan berjarak sekian ribu kilometer, tapi kalau gua menambah faktor lainnya dengan pindah ke Jakarta, tentu akan lebih sulit lagi. Apalagi, kepergian gua akan segera tiba. Kepindahan gua ke Jakarta memang cukup mendadak karena menyesuaikan tanggal dari om dan tante gua. Gua pun berpikir sejenak.
Setelah berpikir, gua mendapatkan ide. Mumpung gua masih ada di tempat ini selama satu minggu, gua bisa memanfaatkan waktu untuk memberitahu Haruna. Tapi, gua akan disibukkan dengan ujian kenaikan kelas. Ya, berkat usulan om dan tante gua juga, gua diperbolehkan untuk langsung mengikuti ujian kenaikan kelas. Ini agar nanti kepindahan gua di Jakarta tidak terlalu merepotkan. Pindah sekolah di saat hendak mengikuti ujian kenaikan kelas tentu akan sedikit menyusahkan. Tapi, jika gua harus menunggu hingga gua selesai ujian, akan repot juga bagi om dan tante gua. Akhirnya, gua diberikan kesempatan untuk ikut ujian terlebih dahulu. Jika dirasa nilainya memenuhi, maka gua bisa naik kelas lebih awal dibandingkan teman-teman gua. Jadinya, gua juga punya waktu libur lebih lama saat berada di Jakarta sebelum memulai kelas 12 gua itu.
Tapi, itu artinya, gua harus fokus dahulu dengan ujiannya. Gua tidak bisa memberitahu Haruna sekarang karena dia pasti akan sedih. Jadi, gua memilih untuk memendamnya dan baru memberitahukannya satu hari sebelum berangkat. Terkesan kejam memang. Namun, gua gak mau kalau dia jadi sedih jika gua kasih tahu sekarang. Gua juga takut gak fokus dengan ujian jika gua membayangkan wajah sedih anak itu. Jadi, lebih baik mengalir saja dahulu hingga waktunya tiba.
*****
Ujian sudah selesai. Nilai gua dianggap memenuhi, jadi gua bisa naik ke kelas 12. Gua pun bisa melanjutkan sekolah di Jakarta dengan memulai langsung di kelas 12. Terima kasih kepada sekolah dan juga keluarga gua yang sudah mau repot-repot memudahkan jalan gua untuk melanjutkan pendidikan ini.
Besok, gua akan pergi ke Jakarta. Itu artinya, gua bisa bermain dengan Haruna hari ini saja. Gua tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Jadinya, gua memilih ingin membuat pengalaman yang sedikit berbeda dengan anak itu. Jika biasanya Haruna yang memulai kegiatan, kali ini gua mau menjadi leader-nya. Gua juga ingin menjelajah sisi pantai lainnya yang belum pernah gua sentuh. Jadi, pengalaman baru bersama anak yang bakal gua tinggalkan tentu bisa menjadi pengalaman yang menarik.
Sesuai dugaan gua, Haruna sedikit kaget saat gua mengajaknya bermain. Tapi, dia tetap merasa excited. Gua juga jadi yakin untuk memberitahu mengenai kepindahan gua ke Jakarta. Walaupun begitu, gua juga sedikit takut jika anak itu menjadi sedih. Gua pun bingung sendiri harus berkata apa sesampainya di kuil.
Gua akhirnya memberanikan diri setelah berpikir lagi. Gua yakin Haruna mau mengerti. Benar. Dia mau mengerti. Tapi, saat dia memegang tangan gua, gua bisa merasakan kesedihan di sana. Gua merasa tidak enak jadinya. Haruna mencoba untuk tidak terlalu memperlihatkan kesedihannya. Jadinya, dia memutuskan untuk menghabiskan hari ini dengan bermain bersama. Ya, sesuai rencana juga sih, karena gua memang berencana untuk bermain dengannya hari ini.
Namun, waktu memang begitu kejam. Dia berjalan begitu cepat di saat kita sedang menikmati apa yang kita lakukan. Tau-tau, matahari yang dari awalnya di atas kepala, kini sudah hampir tenggelam. Langit dari yang awalnya biru kini sudah menjadi orange dan sebentar lagi menggelap. Gua pun memutuskan untuk menyudahi saja kegiatan hari ini. Kalau sudah malam, takutnya Haruna akan kesulitan pulang juga.