---Jonatan---
Sepertinya kabar buruk tidak kunjung henti menimpa diri gua. Punya dosa apa gua sampai terus-menerus menerima kabar buruk? Apa jangan-jangan di kehidupan gua yang dulu, gua pernah berkhianat kepada petinggi kerajaan, lalu kerajaan itu runtuh karena gua membocorkan hal penting, terus gua dihukum mati, kemudian lahir kembali di dunia sekarang untuk menerima hukuman dengan cara terus-menerus menerima kabar buruk?
Gua masih mematung usai mendengar ucapan dari Haruna. “Kalau begitu, lo siapa?” ucap gua dengan sedikit ragu. Kalau dia sudah meninggal, seharusnya gua tidak bisa melihat Haruna lagi, kan? Tapi, kenapa yang ada di depan gua sekarang ini mirip dengan Haruna. Tidak, bahkan dia memang persis terlihat seperti Haruna. Dia saja bisa mengenali gua dengan baik. Tidak mungkin hanya kebetulan orang yang mirip saja.
“Aku diberikan kesempatan untuk bisa bertemu dengan kamu lagi, Jonatan. Seperti janji kita dulu.”
Ingin rasanya gua tertawa sinis saat mendengar ucapan Haruna. “Kesempatan? Tapi, kenapa kesempatannya di saat lo udah meninggal, Haruna? Apa yang seperti ini namanya kesempatan yang baik?”
“Kamu ingin bukti kalau aku benar-benar bukan manusia?”
“Bisa saja lo hanya bercanda, Haruna. Kita kan sudah lama tidak bertemu, jadi bisa saja lo ingin mengerjai gua ketika gua akhirnya bisa ingat tentang diri lo lagi.”
Tapi, gua merasa Haruna tidak menganggap ini bercanda. Dia hanya diam saja sedari tadi, padahal gua terus-menerus mencoba untuk menyangkal bahwa anak itu sudah meninggal. Lagian, hal seperti itu tidak mungkin ada di dunia nyata, kan? Masa orang yang sudah meninggal tiba-tiba bisa menampakkan diri di depan manusia? Bisa dilihat tanpa alat bantu pula oleh manusia itu. Rasanya terlalu tidak mungkin.
“Mana ada hal yang seperti itu terjadi di dunia nyata, Haruna. Jadi, gua tidak percaya kalau lo sudah meninggal,” sahut gua lagi saat merasa anak itu tidak kunjung berbicara. Kok lama-lama auranya jadi sedikit menyeramkan ya?
“Tapi, sekarang kamu bisa melihat aku padahal aku sudah meninggal, bukan?”
“Bisa saja lo becanda kan?” Gua tetap percaya pada pendirian gua bahwa tidak mungkin hantu itu nyata. Tapi, gua bisa melihat Haruna sepertinya sudah lelah menghadapi keras kepalanya gua. Gelagatnya seperti orang yang sudah lelah ketika menasihati orang lain namun tetap tidak mau mendengarkannya.
“Baiklah kalau kamu terus tidak percaya. Jadi, kamu mau bukti kalau aku benar sudah meninggal?” tanya Haruna lagi. Gua sedikit terkejut. Haruna sepertinya serius kali ini. Ucapannya terdengar begitu yakin bahwa dirinya benar sudah meninggal. Setelah itu, gua pun bingung. Bagaimana cara membuktikannya? Tapi, saat gua sedang sibuk berpikir, tiba-tiba Haruna menyodorkan tangannya ke arah gua. Seolah-olah hendak mengajak berjabat tangan.
“Coba kita salaman. Habis itu, kamu bisa menilai sendiri, siapa aku ini sebenarnya.”
Gua menelan ludah pelan. Kalimatnya terasa begitu meyakinkan. Gua jadi takut jika apa yang Haruna katakan itu benar. Namun, gua menggelengkan kepala, berusaha meyakinkan diri gua bahwa dunia berjalan tidak mungkin seperti itu. Semua harus realistis, manusia tidak bakalan bisa melihat hantu, jadi Haruna tidak mungkin sudah berubah wujudnya dari manusia menjadi hantu.
Gua pun dengan pelan mencoba meraih tangan milik Haruna. Gua langsung ternganga. Tidak terpegang. Tangan gua seolah bisa menembus tangan Haruna. Gua tidak percaya, lalu gua mencoba mengusap kembali mata gua. Mencoba meyakinkan pandangan gua bahwa gua tidak salah lihat dan berusaha meraih tangan Haruna. Tapi, seberapa banyak gua mencoba, hasilnya sama saja. Gua tetap tidak bisa meraih tangannya. Itu artinya…?
“Seperti yang kamu bisa lihat, Jonatan. Kamu tidak bisa meraih aku lagi. Kita sudah berbeda dimensi, Jonatan. Itu artinya, aku benar sudah meninggal.”
Jelas, gua tidak percaya. Sekilas, gua melihat Haruna seperti sedang tersenyum karena ucapannya benar. Seperti sudah menang karena bisa membuktikan bahwa dirinya tidak berbohong. Gua pun mencoba membantahnya lagi.